Selasa, 30 Juni 2009

USAHA RAHMAH EL-YUNUSIYAH DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

Rahmah el-Yunusiyah dilahirkan di Padangpanjang pada tanggal 29 Desember 1900 dan meninggal dunia Padangpanjang pada tanggal 26 Februari 1969. Ia merupakan tokoh pendidikan dan perjuangan Islam, pendiri Madrasah Diniyah Puteri Padangpanjang yang merupakan perguruan wanita Islam pertama di Indonesia, dan pelopor berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Sumatera Barat. Rahmah adalah anak bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Syekh Muhammad Yunus dan Rafi’ah. Ayahnya adalah seorang qadi di Pandai Sikat yang juga ahli dalarn ilmu falak, kakeknya adalah Syekh Imaduddin, ulama terkenal Minangkabau dan tokoh Tarekat Naksyabandiah.
Rahmah hanya sebentar mengenyam pendidikan dari ayahnya karena ayahnya meninggal ketika ia masih sangat muda. la kemudian dibimbing langsung oleh kedua kakak lelakinya yakni Zainuddin Labay El‑Yunusy dan NI. Rasyad. Zainuddin Labay adalah ulama pembaru dan tokoh pendidikan di Sumatra Barat yang mendirikan Diniyah School. Rahmah sempat masuk Diniyah School hingga kelas tiga, karena tidak puas dengan sekolah yang dianggapnya tidak dapat memecahkan banyak persoalan-persoalan wanita, ia kemudian belajar pada sejumlah guru lain. Ia belajar agama pada ulam-ulama terkenal Minangkabau, seperti Haji Abdul Karim Amrullah, Abdul Hamid Hakim, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdul Latif Rasjidi, dan Syekh Daud Rasjidi.
Selain ilmu keislaman, ia juga mempelajari ilmu kesehatan (khususnya kebidanan) dan keterampilan wanita seperti memasak, menenun dan menjahit. Kelak ilmu yang diperolehnya ini diajarkannya kepada murid‑muridnya di Diniyah Puteri, melalui pendirian sekolah iutu Rahmah berkeinginan agar wanita Indonesia memperoleh kesempatan penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kodrat wanita hingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari‑hari.
Gerakan emansipasi wanita dalam bidang pendidikan agama di Minangkabau tidak terlepas dari gerakan pembaruan pendidikan Islam di daerah ini. Salah satu tokoh pembaharu adalah Syekh Abdul Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal dengan “Haji Rasul” yang mengajar di Surau Jembatan Besi Padang Panjang, menggantikan sahabatnya Haji Abdullah Ahmad yang pindah ke Padang. Meskipun dia tidak merobah lembaga pendidikan Surau, namun dalam pengajaran dia telah memasukan hal-hal yang baru dengan metode pengajaran yang demokratis, Kitab-kitab yang digunakan adalah kitab-kitab berbahasa Arab dan ilmu yang dipelajari juga beragam.
Dari gerakan beliau inilah muncul dan berkembang kemajuan-kemajuan dalam bidang pendidikan agama Islam di Minangkabau. Di antara murid-muridnya yang berhasil mengembangkan sistem pendidikan Islam tersebut adalah dua kakak beradik yaitu Zainuddin Labay El-Yunusi dan adiknya Rahmah El-Yunusiyah.
Dalam makalah berikut, penulis akan membahas tentang ketokohan Rahmah el-Yunusiyah sebagai salah seorang tokoh wanita yang memajukan dunia pendidikan di Minangkabau.
Usaha Rahmah el-Yunusiyah dalam Bidang Pendidikan Wanita
Rahmah el-Yunusiyah sangat menginginkan wanita Indonesia mendapat kesempatan penuh dalam menuntut ilmu pengetahuan, sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dia berpendapat bahwa pembangunan masyarakat tanpa mengikutsertakan wanita bagaikan burung yang ingin terbang dengan satu sayap saja.
Di samping itu banyak hukum agama yang berkaitan erat dengan seluk beluk kewanitaan yang tidak mungkin dibicarakan blak-blakan. Oleh sebab itu perlu adanya sebuah perguruan khusus untuk anak-anak perempuan yang mempelajari hukum-hukum agama Islam.
Cikal bakal Diniyah Puteri bermula dengan di­bentuknya Madrasah Ii Banat (sekolah untuk putri) pada tanggal 1 November 1923. Selama dua tahun pertama cara belajarnya menggunakan sistem hala­qah seperti yang diterapkan di Masjidil Haram, yakni para murid duduk di lantai mengelilingi guru yang menghadap meja kecil. Lama‑kelamaan sekolah ini dapat memiliki gedung sendiri. Berdirinya gedung ini sepenuhnya berasal dari kemauan keras para perintisnya dan simpati masyarakat. Gedung pertama sekolah ini, dibangun dari batu kali yang diangkut sendiri oleh para guru dan murid Diniyah Puteri dan dibantu murid sekolah lain yang ada di Padangpanjang.
Rahmah menolak untuk bekerja sama dengan Belanda seperti penolakannya terhadap paket bantuan buat sekolah dari pemerintah Kerajaan Belanda. Selain itu, Rahmah sangat bertanggungjawab dengan usaha-usaha yang dilakukannya. la tidak hanya memikirkan kemajuan pendidikan murid‑muridnya tetapi memikirkan pula keselamatan jiwa mereka, seperti tindakannya mengungsikan siswanya ketika zaman pendudukan Jepang di Indonesia (1942).
Di samping sebagai pendidik, Rahmah juga seorang pejuang pergerakan kemerdekaan. Ia merupakan orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di sekolahnya setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Semasa revolusi kemerdekaan, ia dipenjarakan Belanda dan baru dibebaskan tahun 1949 setelah pengakuan kedaulatan. Hingga tahun 1958 ia aktif di bidang politik, antara lain menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Sumatra Tengah, ketua Barisan Sabilillah dan Sabil Muslimat di Padang, dan anggota Konstituante mewakili Masyumi. Peranannya yang paling menonjol adalah kepeloporannya dalam pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada tanggal 2 Oktober 1945.
Perhatian Rahmah untuk kaumnya memang tidak pernah padam. Rahmah bercita‑cita mendirikan perguruan tinggi Islam khusus untuk wanita dengan sarana yang lengkap. Cita‑citanya ini sebagian sudah terlaksana. Ketika ia wafat, Diniyah Puteri telah memiliki perguruan tinggi dengan satu yakni Fakultas Dirasah Islamiah. la juga bercita‑cita untuk mendirikan rumah sakit khusus wanita.
Di bawah kepemimpinan Rahmah, Diniyah Puteri berkembang pesat. Keberhasilan lembaga ini mendapat perhatian dan pujian dari berbagai to­koh pendidikan, pernimpin, politikus, dan tokoh agama dalam dan luar negeri. Pada tahun 1957 Rahmah memperoleh gelar Syaikhah dari Senat Guru Besar Universitas al‑Azhar, Mesir. Gelar ini belum pernah dianugerahkan kepada siapa pun se­belumnya.
Pendirian Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang ini merupakan perwujudan dari cita-cita Rahmah el-Yunusiyah yang memiliki kesadaran yang tinggi untuk memajukan kaum wanita dalam bidang pendidikan agama, yang selama ini tertinggal jauh dari kaum pria. Ia sangat menginginkan kaum wanita mendapat kesempatan yang sama dengan kaum pria dalam menuntut ilmu pengetahuan. Sebab hanya dengan ilmu pengetahuan itulah kaum wanita dapat mengejar ketinggalan dari kaum pria. Rahmah el-Yunusiyah menginginkan agar kaum wanita sanggup berdiri di atas kaki sendiri serta mampu menjadi ibu pendidik yang terampil dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
Menurut Rahmah, kemajuan dan perbaikan kaum wanita tidak dapat diserahkan kepada orang lain (laki-laki). Akan tetapi mereka sendiri yang harus melakukannya. Salah satu cara untuk memperbaiki nasib serta mengangkat harkat dan martabat kaum wanita itu adalah melalui pendidikan. Berdasarkan pandangan ini maka Rahmah berusaha untuk merealisasikan cita-citanya dalam memajukan kaum wanita melalui pendidikan yang bercorak modern dan berdasarkan prinsip-prinsip agama Islam.
Semua keinginan dan cita-cita Rahmah el-Yunusiyah untuk memajukan pendidikan kaum wanita tersebut kemudian dirumuskan menjadi tujuan pendidikan dari Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang, yaitu: “Membentuk putri yang berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap dan aktif serta bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat dan tanah air atas dasar pengabdian kepada Allah SWT”.
Guna mencapai tujuan pendidikan tersebut, maka Rahmah el-Yunusiyah berusaha menyebarluaskan pengetahuan agama Islam kepada kaum wanita yang selama ini sangat susah untuk memperolehnya. Menurut Rahmah karena kurang mendapat kesempatan untuk memperoleh pengetahuan agama kaum wanita selama ini telah terjauh dari pengetahuan agama sehingga senantiasa berada dalam kejahilan. Untuk itu melalui perguruan Diniyah Putri yang didirikannya, Rahmah el-Yunusiyah melakukan berbagai usaha untuk memajukan kaum wanita, di antaranya:
1. Mengadakan program pendidikan umum (general education)
Program ini bertujuan untuk mengembangkan sikap ilmiah anak didik
2. Mengadakan program pendidikan agama
Program ini bertujuan agama pada pelajar memiliki ilmu pengetahuan dalam bidang keahlian agama. Setelah menamatkan studinya, diharapkan para siswa mempunyai bekal pengetahuan tentang agama Islam yang dapat dikembangkan sendiri dalam masyarakat. Untuk mencapai program pendidikan agama ini, maka diajarkan pengetahuan dasar agama Islam, seperti: Fiqih, Tafsir, Nahu, Sharaf, Tauhid, Adab, Tarekh Islami, Hikmah Tasyri’, Insya’, Imla’, Ushul Fiqih, Sejarah Agama, dan lain-lain. Program pendidikan agama inilah yang menjadi ciri khas dari pendidikan yang ada di Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang.
3. Mengadakan program pendidikan yang mengarahkan siswi untuk menjadi ibu pendidik yang baik. Untuk itu kepada para pelajar diberikan kelompok pengetahuan yang berkenaan dengan pendidikan anak dan keluarga, seperti: pedagogik, psikologi, serta ilmu bantu lainnya.
4. Mengadakan program pendidikan keterampilan, yaitu pengetahuan praktis yang dapat dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti kerajinan tangan, keterampilan menjahit, kewanitaan, kepemimpinan, keterampilan berdakwah, dan sebagainya.
5. Mengadakan program pendidikan yang mengarah pada pembentukan kepribadian anak didik, seperti: cara hidup dalam masayarakat, cara memimpin dan dipimpin, cara berpidato untuk melatih berpikir, keberanian dan percaya diri, dan sebagainya. Program pendidikan ini banyak diberikan secara informil dalam asrama dan langsung dipraktekkan di bawah bimbingan guru-guru atau pengawas yang sudah ditunjuk.
Di samping usaha-usaha memajukan kaum wanita sebagaimana disebutkan di atas, masih banyak usaha-usaha lain yang sengaja diprogramkan, terutama yang mengarah pada pembentukan kepribadian anak didik, seperti :
1. Kegiatan ubudiyah, seperti: membaca kitab suci Alquran, shalat berjamaah, mengikuti wirid ceramah agama, dan lain-lain.
2. Kegiatan PKK, seperti: masak- memasak, tata cara menghidang, jahit-menjahit, merenda, membordir, dan merajut, bertenung tanpa mesin dan membatik.
3. Kegiatan organisasi, pramuka, koperasi, kesenian, olahraga, dan lain-lain.
Demikianlah di antara usaha-usaha yang dilakukan oleh Rahmah el-Yunusiyah melalui berbagai program pendidikan dalam rangka mengangkat harkat dan martabat kaum wanita. Melalui Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang yang didirikan atas dasar prinsip-prinsip ajaran Islam serta bercorak modern, Rahmah el-Yunusiyah telah mengorbankan segala daya dan upaya yang dimilikinya demi kemajuan kaum wanita Islam. Di Perguruan ini pendidikan agama Islam mendapat prioritas utama tanpa mengenyampingkan pendidikan umum.
Melihat usaha Rahmah el-Yunusiyah dalam memajukan kaum wanita melalui jalur pendidikan yang bercorak Islami ini tidak salah kalau Hamka mengatakan bahwa Rahmah el-Yunusiyah merupakan pelopor gerakan emansipasi wanita dalam bidang pendidikan agama. Bahkan Zainal Abidin Ahmad menjuluki Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang yang didirikan oleh Rahmah el-Yunusiyah sebagai lambang pengetahuan wanita Islam, yang para alumninya tersebar di seluruh Indonesia dan Malaysia serta banyak pula di antara mereka yang telah melanjutkan studinya ke Timur Tengah, seperti Mesir, Kuwait, Madinah, dan lain-lain
Dalam sejarah pergerakan wanita di Indonesia nama R.A. Kartini telah tercatat sebagai pelopornya. Bahkan pemerintah Indonesia telah menguatkan posisi R.A. Kartini sebagai pahlawan wanita, yaitu dengan menganugerahkan kepadanya gelar Pahlawan Nasional tahun 1964.
Meskipun telah berpuluh tahun orang memitoskan Kartini sebagai simbol perjuangan gerakan emanispasi wanita di Indonesia, namun peranan pejuang gerakan emansipasi dari Minangkabau tidak dapat dilupakan dalam memajukan kaum wanita. Dalam hal ini misalnya Rahmah el-Yunusiyah telah melakukan usaha-usaha yang sangat berarti dalam mengangkat harkat dan martabat kaum wanita. Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya bahwa Rahmah el-Yunusiyah telah berjasa mendirikan sebuah lembaga pendidikan agama khusus wanita. Sampai sekarang hasil perjuangannya tersebut masih dapat dinikmati oleh anak-anak wanita dalam memperdalam pengetahuan agama khususnya.
Perjuangan Rahmah el-Yunusiyah dalam memajukan kaum wanita tidak sebatas pada ide-ide saja, melainkan telah melakukan aksi nyata dengan mendirikan sebuah sekolah agama khusus wanita. Perguruan ini sangat besar peranannya dalam menentukan langkah sejarah perkembangan gerakan emanispasi wanita di Indonesia. Bahkan Cora Vreede-de Stuers, ahli berkembangsaan Belanda menyarankan agar mempertimbangkan usaha-usaha yang dilakukan oleh Rahmah el-Yunusiyah ini sebagai langkah yang menentukan dan bahkan dapat disamakan dengan penerbitan surat-surat Kartini dan Sekolah Dewi Sartika di Bandung.
Saran dan pandangan Cora Vreede-de Stuers ini cukup beralasan sebagai Rahmah el-Yunusiyah telah melakukan perjuangan yang tak kenal lelah dalam memajukan kaum wanita melalui pendidikan. Pendirian Perguruan Dinyah Putri dilakukannya dengan mengorbankan seluruh hidupnya. Semua pembiayaan sekolah dan dana yang diperlukan untuk keperluan kelancarana proses belajar mengajar diambil dari harta kekayaannya. Kemudian karena harta kekayaannya sudah tidak mampu lagi membiayai sekolah tersebut, beliau melakukan perjalanan keliling keberbagai daerah, seperti Sumatera Utara, Aceh dan sampai ke semenanjung Malaysia guna mendapatkan sumbangan dana dari masyarakat. Di Semenanjung Malaysia Rahmah el-Yunusiyah sempat memberikan pelajaran agama di istana kepada putra-putri sultan. Dana yang terkumpul dari perjalanan keliling ini dimanfaatkan sepenuhnya untuk kemajuan perguruan yang didirikannya.
Pada tahun 1932 sampai 1935 Rahmah el-Yunusiyah kembali melakukan perjalanan keliling ke Malaysia sekaligus untuk mengantarkan siswi lulusan Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang untuk mengajar di berbagai sekolah di Penang dan Trenggono. Masyarakat Penang dan Trengganu melihat bahwa usaha yang dilakukan oleh Rahmah El-Yunusiah sangat dibutuhkan oleh masyarakat Islam di daerah tersebut sehingga banyak permintaan kepada Rahmah untuk mengirimkan para lulusan Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang untuk menjadi tenaga pengajar di sana. Bahkan banyak pula yang menyerahkan putri-putri mereka untuk dididik di Perguruan tersebut.
Untuk lebih mengembangkan dan menyempurnakan sistem pendidikan di Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang, Rahmah el-Yunusiyah melakukan studi perbandingan ke berbagai sekolah yang tersebar di Sumatera dan Jawa. Oleh sebab itu kata Deliar Noer tidak heran kalau Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang ini akahirnya menjadi sebuah sekolah agama wanita yang bercorak modern dan sangat maju. Murid-muridnya tidak hanya berasal dari Kota Padang Panjang dan sekitarnya, melainkan juga berasal dari berbagai propinsi lain di Indonesia bahkan dari luar negeri.
Dalam perkembangan selanjutnya para lulusan Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang ini banyak berkiprah dalam masyarakat, seperti menjadi guru, mubaligh, dan bahkan ada pula yang berusaha mendirikan sekolah dengan nama Diniyah Putri, seperti di Lampung, Jambi dan di daerah lain. Di samping itu ada pula lulusan Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang ini yang menjadi pejabat tinggi negara, seperti Aisah Amini menjadi anggota DPR RI, Puan H. Aisyah Ghani menjadi menteri kebijakan Am atau menteri sosial di Malaysia.
Melihat keberhasilan dari usaha yang dilakukan Rahmah el-Yunusiyah dalam mengangkat derajat kaum wanita melalui pendidikan agama yang bercorak modern tersebut ternyata telah mengundang banyak perhatian dari dalam maupun luar negeri. Berbagai penghargaan diberikan kepada Rahmah El-Yunusiyah. Misalnya pada tahun 1955 Rektor Universitas Al-Azhar sengaja mengadakan kunjungan khusus di Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang. Setelah menyaksikan aktivitas pendidikan di Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang ini, maka Rektor Universitas Al-Azhar tersebut merasa kagum dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan bermaksud pula untuk mendirikan sebuah fakultas khusus untuk wanita di Al-Azhar dengan mengambil pola yang ada di Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang.
Atas kekagumanan Rektor Universitas Al-Azhar tersebut, maka Rahmah el-Yunusiyah diundang untuk berkunjung ke Al-Azhar. Atas undangan tersebut maka tahun 1956 setelah melaksanakan ibadah haji Rahmah datang ke Al-Azhar. Dalam kesempatan berkunjung tersebut, Rahmah dianugerahi gelar kehormatan tertinggi oleh pihak Universitas Al-Azhar, yaitu syeikhah. Gelar ini belum pernah diberikan kepada kaum wanita lain, kecuali kepada Rahmah El-Yunusiyah.
Memperhatikan berbagai kemajuan dari keberhasilan Rahmah el-Yunusiyah dalam memajukan pendidikan agama wanita di Minangkabau, di mana murid-muridnya tersebar di hampir seluruh Indonesia, dapat dipahami bahwa Rahmah el-Yunusiyah mempunyai peranan yang sangat penting dalam peta gerakan emansipasi wanita di Indonesia, terutama dalam bidang pendidikan agama di daerah Minangkabau, Pulau Sumatera dan semenanjung Malaya.
Rahmah el-Yunusiyah sangat menginginkan wanita Indonesia mendapat kesempatan penuh dalam menuntut ilmu pengetahuan, sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu perlu adanya sebuah perguruan khusus untuk anak-anak perempuan yang mempelajari hukum-hukum agama Islam.

Selasa, 16 Juni 2009

BERFIKIR DAN ZIKIR

A. Pendahuluan
Di dalam kajian filsafat istilah berfikir merupakan kajian yang tidak asing lagi, karena segala sesuatu yang lahir dalam filsafat melalui jalan berfikir. Namun dalam mamaknai kata berfikir ini, sering kali terjadi perbedaan pendapat. Ketika seseorang dikatakan berfikir, seolah-olah dia sedang melibatkan segenap kemampuan akalnya untuk sesuatu Begitulah barang kali gambaran berfikir.
Di dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern berfikir ditujukan untuk menghasilkan teori, mengkaji teori yang lama, memperbaharui teori, dan masih banyak lagi kegunaannya. Lebih dari itu seorang manusia memang telah tercipta dengan kemampuan akal yang mampu untuk memikirkan segala sesuatu yang dapat ditangkap dengan indranya. Seperti isyarat yang mengatakan bahwa “Pikirkanlah tentang ciptaan Allah, dan jangan pikirkan tentang zat Allah”.
Ini merupakan isyarat bahwa segala yang ada di alam telah diperintahkan untuk memikirkannya. Dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 191 berbunyi:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(ال عمران: 191)
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran: 191)
Di dalam agama Islam tujuan memikirkan alam adalah semata-mata untuk ingat kepada Pencipta alam ini yaitu Allah SWT. inilah yang disebut dengan tazakkur atau zikrullah. Berbeda dengan berfikir yang dipahami secara umum terkadang manusia terlepas dari kedekatannya dengan Allah. Zikir justru tujuan utamanya adalah ingat kepada Allah.
Di sini nampak perbedaan berfikir dalam Islam dan berfikir hanya dalam kajian keilmuan. Zikir memang semata-mata ditujukan untuk ingat, bukan untuk menciptakan suatu teori ilmu pengetahuan, dan bukan pula untuk mengkaji-suatu produk ilmu, seperti yang dihasilkan oleh berfikir yang dipahami secara umum. Walaupun zikir juga menggunakan metode berfikir yaitu mengerahkan kemampuan akal untuk mengingat, namun zikir tujuan atau hasil akhirnya adalah kedekatan dengan Allah. Kalau dalam tasawwuf hal ini bisa mencapai suatu keadaan manusia merasa bersatu dengan Pencipta.[1]
Namun hubungan antara zikir dan fikir ini sangat diperlukan dalam sebuah produk pengetahuan, karena tanpa ingat kepada Allah sebuah pengetahuan akan sia-sia adanya. Ia tidak akan lagi memperhatikan norma agama. Demikian juga zikir tanpa pengetahuan juga tidak jelas arah dan tujuannya.
Untuk lebih jelasnya tentang berfikir dan zikir ini, pada pembahasan ini akan dipaparkan beberapa penjelasan tentang berfikir dan zikir ini.
B. Berfikir
Berfikir merupakan ciri utama manusia, untuk membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Dengan dasar berfikir ini manusia dapat mengubah keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya. Berfikir disebut juga proses bekerjanya akal, manusia dapat berfikir karena manusia berakal. Dengan demikian akal merupakan intinya, sebagai sifat hakikat, sedangkan makhluk sebagai genus yang merupakan hakikat zat, sehingga manusia dapat dijelaskan sebagai makhluk yang berakal.[2]
Akal merupakan salah satu unsur kejiwaan manusia untuk mencapai kebenaran di samping rasa untuk mencapai keindahan dan kehendak untuk mencapai rasa untuk mencapai kebaikan. Dengan akan inilah manusia berfikir untuk mencari kebenaran hakiki. berfikir banyak sekali macamnya, namun secara garis besar dapat dibedakan antara berfikir alamiah dan berfikir ilmiyah. Di bawah ini akan dijelaskan kedua macam cara berfikir ini:
1. Berfikir alamiyah yaitu pola penalaran yang berdasarkan kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya, misalnya: penalaran tentang panasnya api yang dapat membakar, jika kayu didekatkan ke api pasti akan terbakar.
2. Berfikir ilmiyah, yaitu pola penalaran berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan cermat. Misalnya dua hal yang bertentangan penuh tidak dapat sebagai sifat hal tertentu pada saat yang sama dalam satu kesatuan. Contohnya panas dan dingin. Tidak bisa bersatu dalam satu keadaan pada sebuah situasi.
Di dalam pembahasan berfikir, berfikir ilmiahlah yang kerap menjadi pembahasan yang tentu saja menggunakan sarana ilmiah. Bagi seorang ilmuan penguasaan sarana berfikir ilmiah merupakan suatu keharusan, dan bahkan mutlak diperlukan, karena tanpa penguasaan sarana ilmiah tidak akan dapat melaksanakan kegiatan ilmiyah yang baik.
Namun dalam pembahasan ini, lebih jauh tidak akan dibahas tentang sarana berfikir ilmiyah. Akan tetapi pembahasan ini akan lebih didekatkan kepada pemahaman tentang berfikir itu sendiri.
Ada beberapa azas dalam berfikir tersebut, di antaranya:
1. Asas identitas (principium identitas = qanun zatiyah)
Ini merupakan dasar dari semua pemikiran dan bahkan asas pemikiran lain. Seseorang tidak akan mungkin dapat berfikir tanpa azas ini. prinsip ini mengatakan bahwa sesuatu itu adalah dia sendiri bukan yang lainnya. Jika diakui sesuatu itu adalah Z maka ia adalah Z dan bukan A, B, atau C. jadi apabila proposisi itu benar maka benarlah dia.
2. Asas Kontradiksi (principium contradictoris = qanun tanaqud)
Asas ini mengatakan bahwa pengingkaran sesuatu tidak mungkin sama dengan pengakuannya. Jika kita mengakui bahwa sesuatu itu bukan A maka tidak mungkink pada saat ia adalah A, sebab realitas ini hanya satu sebagaimana disebut oleh asas identitas. Dengan kata lain: Dua kenyataan yang kontradiktoris tidak mungkin bersama-sama secara simultan. Jadi tidak ada proposisi yang sekaligus benar dan salah.
3. Asas penolakan kemungkinan ketiga (principium exlusi tertii = qanun intina’)
Asas ini mengatakan bahwa antara pengakuan dan pengingkaran kebenarannya terletak pada salah satunya. Pengakuan dan pengingkaran merupakan pertentangan mutlak, karena itu di samping tidak mungkin benar keduanya juga tidak mungkin salah salah keduanya. Mengapa tidak mungkin salah kedua-duanya? Bila pernyataan dalam bentuk positifnyah salah berarti ia memungkiri realitasnya, atau dengan kata lain realitas ini bertentangan dengan pernyataannya. Dengan begitu maka pernyataan berbentuk ingkarlah yang benar, karena inilah yang sesuai dengan realitas. Juga sebaliknya, jika pernyataan ingkarnya salah, berarti ia mengingkari realitasnya, maka pernyataan positifnya yang benar, karena ia sesuai dengan realitasnya. Pernyataan kontradiktoris kebenarannya terdapat pada salah satunya (tidak memerlukan kemungkinan ketiga). Jika kita rumuskan, akan berbunyi “Suatu proposisi selalu dalam keadaan benar atau salah”.[3]
Di dalam membahas tema berfikir ini, nampaknya tidak mungkin lepas dari logika, memang demikianlah logika dan berfikir memang identik dan sama. Walaupun pada logika selalu dilengkapi dengan premis-premis sebagai bahan berfikir.
Jadi ada beberapa pertanyaan yang muncul berkenaan dengan berfikir. Pertama, apakah sebenarnya berpikir ? secara umum maka tiap perkembangan dalam idea, konsep dan sebaginya dapat disebut berpikir. Umpamanya, jika seseorang bertanya kepada saya, “apakah yang sedang kamu pikirkan ?” mungkin saya menjawab, “saya sedang memikirkan keluarga saya.” Hal ini berarti bahwa bayangan, kenangan dan sebagainya akan hadir dan ikut mengikuti dalam kesadaran saya. Karena itu maka definisi yang paling umum dari berpikir adalah perkembangan idea dan konsep. [4]
Pemikiran keilmuan bukanlah suatu pemikiran yang biasa. Pemikiran keilmuan adalah pemikiran yang sungguh-sungguh. Artinya, suatu cara berpikir yang berdisiplin, dimana seseorang yang berpikir sungguh-sungguh takkan membiarkan idea dan konsep yang sedang dipikirkan nya berkelana tanpa arah, namun kesemuanya itu akan diarahkannya pada suatu tujuan tertentu. tujuan tertentu itu, dalam hal ini, adalah cara berpikir yang didisiplinkan dan diarahkan kepada pengetahuan.[5]
Akan tetapi bagaimana pemikiran seperti itu akan membuahkan pengetahuan bagi manusia? seseorang mungkin berpikir bahwa objek yang ingin kita ketahui sebenarnya sudah ada, sudah tertentu (given), jadi disini tak diperlukan adanya pemikiran, yang harus dilakukan hanyalah sekedar membuka mata kita atau memusatkan perhatian kita terhadap objek tersebut. kalau ternyata objek yang ingin kita ketahui itu belum tertentu (non-given) maka kelihatannya berpikir tidak akan pernah mendekatkan kita kepadanya. namun semuanya itu ternyata tidak benar. Dalam kedua hal diatas, kalau kita mau menyimak pengalaman kita, berpikir ternyata memerankan peranan yang sangat membantu bahkan sangan menentukan.
Umpamanya marilah kita lihat dalam contoh yang pertama, dimana obyek yang ingin diketahui sudah tertentu. yang harus disadari adalah bahwa obyek tersebut tak pernah sederhana. Biasanya obyek itu sang at rumit. Mungkin mempunyai beratus-ratus segi, aspek, karakteristik dan sebaginya. Pikiran kita tak mungkin untuk mencakup semuanya dalam suatu ketika. Dalam rangka untuk mengenal benar-benar obyek semacam itu, seseorang harus dengan rajin memperhatikan semua seginya, membanding-bandingkan apa yang telah dilihatnya, dan selalu melihat serta menganalisis obyek tersebut dari berbagai-bagai pendirian yang berbeda. Kesemuanya ini adalah berpikir.
Marilah kita ambil contoh cara berpikir dalam menghadapi hal semacam ini. umpamakan saja bahwa terdapat noktah merah di muka mata saya. Mula-mula seseorang mungkin akan membayangkan bahwa hal ini adalah sangat sederhana, bahwa yang perlu dia lakuakn hanyalah sekedar membuka matanya untuk dapat melihat noktah tetrsebut. Tetapi ternyata bahwa hal itu tidak sedemikian mudah : karena takkan terdapat sebuah noktah merahpun tanpa adanya suatu latar belakang dan warna latar belakang haruslah berbeda denga noktah tersebut. kedua, dalam fakta yang sederhana ternyata kita temukan hal-hal yang istimewa : noktah tersebut ternyata tidak hanya mempunyai warna namun juga mempunyai dimensi, yakni panjang dan lebar yang tertentu. tetapi dimensi-dimensi itu bukanlah warna melainkan sesuatu yang lain sama sekali, meskipun harus mempunyai sesuatu yang berkaitan dengan warna. Ketiga, dimensi-dimensi ini sendiri pun ternyata tidak cukup. Noktah tersebut juga mempunyai bentuk, umpamanya persegi atau bulat. Kemusian jika kita kaji lebih lanjut, ternyata bahwa warna pun bukan masalah yang sederhana,. Memang warna noktah itu merah namun tidak serupa denga warna merah lainnya. Agak mempunyai karakteristik tertentu., semacam keunikan. Jika terdapat dua noktah, maka biasanya keunikan itu tidak sama. Dalam menganalisa warna ini maka seseorang akan bisa melangkah lebih jauh. Seseorang yang telah mempelajari teori warna akan akan bisa mendiskusikan umpamanya tentang intensitas warna noktah tersebut. jika kita perhatikan lebih lanjut bahwa noktah itu tidak hanya muncul dalam latar belakang warna yang berbeda namun jugapada sesuatu yakni sipembawa noktah tersebut. disini lalu kita menemukan paling tidak tujuh unsur ; latar belakang , warna, dimensi, bentuk, keunikan, intensitas, dan akhirnya dipembawa. Dan semuanya ini baru permulaan.
Contoh di atas adalah masalah yang sangat sederhana bahkan kelihatannya remeh. Dalam menghadapi obyek mental seperti “maaf” atau “bakat” maka seseorang dapat membayangkan betapa kerumitan yang terdapat dalam hal ini, dan betapa besar usaha yang harus dilakukan dalam berpikir untuk mendekatkan kita pada permasalahan ini sampai tahapan teretentu.
Dalam sejarah, cara berpikir seperti ini selalu dilakukan oleh para ahli falsafah. Salah satu ahli falsafah terbesar adalah Aristoteles. Pada permulaan abad ini, seorang pemuka falsafah bangsa Jerman bernama Edmund Husserl, menguraikan dengan jelas dan tajam metode ini. dia menyebutnya fenomenologi. Fenomenologi paling tidak dalam tulisan Husserl yang mula-mula – adalah metode yang mengusahakan untuk memahami esensi dari obyek yang tertentu dengan analisis yang kurang lebih sama seperti apa yang telah kita kemukakan di atas. [6]
Nampaknya ketika tema berfikir ini diangkat, maka sebenarnya banyak lagi masalah yang berlum terungkap dalam uraian di atas. namun sebenarnya yang penting dipegang adalah bahwa berfikir memang suatu upaya untuk mengerahkan kemampuan akal yang dianugerahkan oleh Allah SWT.
Seperti yang diungkap oleh Yoesoef Sou’yb bahwa secara sederhana, pada saat tertentu seseorang mendengar suatu keterangan, kemudian pada saat lain didengar pula satu keterangan lagi. Dua keterangan ini otomatis tersimpan tanpa disadari oleh otak. Kemudian pada suatu saat mendadak muncul dan menghubungankan keterangan-keterangan yang ada di benak terdahulu. Maka dalam hal terjadilah kegiatan di dalam otak yang berusaha memperjelas titik-titik hubungan dari keterangan tersebut. demikianlah proses berfikir terjadi untuk mencapai tujuan yakni suatu kesimpulan tentang keterangan-keterangan itu. [7]
C. Zikir
Perkataan “zikir” dapat diartikan dengan ingat, namun yang dimaksud dengan zikir ini ialah seperti yang dikatakan oleh Ibnu Athaillah ialah: “menyingkirkan lupa dan lalai dengan selalu ingat hati kepada Allah”. [8]
Defenisi lain mengatakan bahwa zikir ialah “menyebut Allah dengan membaca tasbih (subhanallah), membaca tahliel (la-ilaha illallah), membaca tahmid (alhamdulillah), membaca hauqalah (la haula wa la quwata illa billahi), dan lain sebagainya. [9]
Termasuk yang dipandang sebagai zikir (mengingat Allah) mengerjakan segala rupa keta’atan kepada Allah. Jadi, majlis-majlis yang diadakan untuk membocarakan masalah agama, bisa juga disbeut dengan majlis zikir.
Al-Hafiz dalam Fat’hul Ba’ry mengatakan bahwa zikir ialah segala lafaz (ucapan) yang disukai umat membacanya dan memperbanyak membacanya untuk menghasilkan jalan mengingat dan mengenang Allah. [10]
Ibnu Athaillah membagai bentuk zikir kepada tiga macam yaitu: [11]
1. Zikir jalli, yaitu zikir lisan, yang berupa ucapan yang mengandung arti pujian, pujaan dan syukur kepada nikmat Allah. Zikir lisan ini cukup dengan mengucapkan tanpa disertai dengan ingatan hati.
2. Zikir khafi adalah zikir hati dengan menghilangkan rasa kebosanan, dan selalu kekal musyahadah kepada Tuhannya.
3. Zikir hakiki, ialah zikir seluruh tubuh dan seluruh anggotanya ialah dengan memelihara anggotanya dari yang dilarang Allah dan mengerjakan apa yang diperintah Allah.
Manusia yang diberkahi dengan pengetahuan batin memandang zikir senantiasa dan terus menerus mengingat Allah- sebagai metode paling efektif untuk membersihkan hati dan mencapai kehadirat Ilahi.[12]
Objek segenap ibadah ialah mengingat Allah dan hanya terus menerus mengingat Allah sajalah yang bisa melahirkan cinta kepada Allah serta mengosongkan hati dari kecintaan dan keterikatan pada dunia fana ini. [13]
Zikir merupakan rangka dari keimanan, banyak ayat-ayat yang berbicara tentang ini, di antaranya:
Firman Allah :
al-Ahzab: 41-42
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا، وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلا(الاحزاب41- 42)
Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. (QS. al-Ahzab: 41-42

an-Anfal: 45
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (الأنفال: 45)
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.(QS. al-Anfal: 45)
al-Baqarah: 152
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ (البقرة: 152)
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) –Ku. (QS. al-Baqarah: 152)
al-A’raf:205
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَاْلآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ(الأعراف: 205)
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.(QS. al-A’raf: 205)
al-Zukhruf: 36
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ(الزخرف: 36)
Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur'an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.(QS. az-Zukhruf: 36)
al-Mujadalah: 19
اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلاَّ إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ(19)
Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi.
an-Nisa: 142
الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاَةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللهَ إِلاَّ قَلِيلاً (النساء: 142)
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (QS. an-Nisa: 142)
Ayat-ayat di atas mengandung perintah dan petunjuk untuk melaksanakan zikir. Dan dengan memperhatikan ayat di atas dapat diperoleh bahwa sebab kebanyakan manusia melupai tugas menyebut Allah (berzikir) adalah karena jiwanya telah dipengaruhi oleh syetan.
Jadi orang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah, yang ingin memperoleh kesempurnaan imannya, tidaklah dia akan mempermudah-mudah dan melengahkan zikir.
Zikir merupakan hal yang sangat penting bagi manusia dalam sepanjang hidupnya, karena manusia dalam hidup ini tidak terlepas dari empat keadaan, dalam keaadaan taat, apabila ia selalu ingat kepada Allah pada saat itu, maka akan lahirlah suatu keyakinan bahwa ketaatan yang diperbuatnya adalah merupakan karunia Allah dan dengan taufikNya. Dengan keyakinan ini, terhindarlah ia dari sifat ujub ialah menyandarkan ketaatan itu kepada perbuatannya sendiri, keyakinan yang seperti itu adalah hijab , dan penyakit yang meruntuhkan pahala dari amal ibadahnya. Kalau manusia dalam keadaan maksiat maka dengan zikir kepada Allah, akan dapat membagnkitkan kesadarannya untuk memperbaikikeadaan dirinya dengan bertaubat, dengan bertaubat ia menjadi manusia yang mencintai Allah dan Allaj pun mencintainya. Dengan keyakinan itu pula ia sadar bahwa kemaksiatan adalah hijab yang melindungi antaranya dengan tuhannya, dan kemaksiatan itu pula yang akan menjurumuskan kejurang kebinasaa. Kalau ia dalam keadaan memperoleh nikmat, apakah harta, pangkat, atau kemewahan-kemewahan lainnya, dengan zikir akan menimbulkan keinginan untuk mensyukuri nikmat Allah, dengan bersyukur kepada nikmat, maka nikmat yang ada pada tangannya akan tetap dan bertambah, sebaliknya kalau ia telah lupa atau kufur terhadap nikmat, nikmat akan ditarik dan akan menjadi bencana baginya. Kalau ia dalam keadaan menderita dengan ingat kepada Allah, timbullah keyakinan bahwa setiap cobaan ia harus menghadapinya dengan sabar, dengan sikap sabar terhadap cobaan ini, Allah akan memberikan pahala yang berlipat ganda serta menghindarkan dirinya dari cobaan tadi.
Disamping itu, kegunaan zikir ini bersifat umum adalah untuk :
1. Memperlunak hati manusia sehingga hati manusia dapat melihat kebenaran dan bersedia mengikuti dan menerima kebenaran.
2. Membangkitkan kesadaran bahwa Allah Maha Pengatur dan apa yang telah ditetapkanNya adalah baik, hanya mungkin pada sesuatu saat manusia manilainya tidak baik, karena pertentangan dengan hawa nafsu keinginannya namun apa yang terjadi manusia belum mengetahui hikmahnya, barulah ia sadar bahwa Allah tidak menghendaki melainkan yang baik saja, karena itu ia harus reda menerima apa yang terjadi.
3. Meningkatkan mutu apa yang telah dikerjakan, karena sesuatu amal perbuatan, Allah tidak menilainya dari segi lahirnya saja, tetapi Allah manilai dari motif dan keikhlasan dalam memperbuatnya, apakah pada saat memperbuat perbuatan itu denga keyakinan bahwa perbuatan itu terjadi dengan kurnia Allah atau dari yang lainnya.
4. Memelihara diri dari godaan syetan, memang syetan hanya dapat menggoda dan menipu manusia yang lupa dan lalai kepada Allah. Karena syetan itu sendiri adalah musuh yang membinasakan manusia dengan zikir berarti kita telah dapat menyelamatkan diri dari kebinasaan.
5. Kemaksiatan yang diperbuat oleh seseorang karena kejahilannya terhadap Allah dan hukum Allah. Kalau manusia betrl-betul ingat kepada Allah, tentulah ia tidak akan berbuat sesuatu perbuatan yang dikutuk Allah dan apalagi yang akan menjauhkan dirinya dari Allah.
D. Hubungan Berfikir dan Zikir
Berfikir mempunyai hubungan yang erat dengan zikir. Berfikir dan zikir merupakan dua kajian yang sebenarnya saling terkait. Namun ketika seseorang berfikir belum tentu dia berzikir, tetapi ketika seorang berzikir tercakup di dalam berfikir, sebab ketika seorang berzikir jelas dia juga mengerahkan kemampuan akal untuk mengingat Sang Pencipta. Di sinilah letak perbedaan berfikir dan zikir.
Dalam hubungan selanjutnya terlihat seperti yang dijelaskan dalam firman Allah, bahwa berfikir tanpa diiringi dengan zikir akan terlepas dari kendali agama yang terdiri norma-norma mengikat supaya terkontrol dalam berfikir. Lebih lanjut agama memberi arah bagi seseorang dalam berfikir. Demikian juga zikir atau ingat kepada sang pencipta merupakan sarana untuk sampai kepada sebuah pengetahuan. Seperti makna Ulil Albab yang dibicarakan dalam al-Qur’an dalam surat Ali Imran ayat 191 berbunyi:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(ال عمران: 191)
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran: 191)
Perpaduan kata يَذْكُرُونَ dan kata وَيَتَفَكَّرُونَ dalam ayat ini mengindikasikan sebuah hubungan yang erat antara fikir dan zikir. Inilah yang menyebabkan di dalam Islam fikir tanpa zikir akan menjadi hampa dan sebaliknya zikir tanpa fikir tidak akan bermakna.
E. Kesimpulan
Dari keterangan yang dipapar tentang berfikir dan zikir. Dapat diambil kesimpulan bahwa berfikir dapat dikaterogikan kepada dua keadaan, yaitu berfikir yang semata-mata untuk menghasilkan suatu pengetahuan dan berfikir untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang tujuan akhirnya adalah untuk tazakkur kepada Pencipta Segala.
Di dalam Islam tafakkur yang dimaksud sebagai berfikir sering kali berbarengan dengan tafakkur. Jadi di dalam al-Qur’an berfikir yang dimaksud adalah berfikir yang bertujuan untuk mengingat (tazakkur) kebesaran Allah yang menciptakan alam dan segala isinya, yang menjadi sumber dari kegiatan berfikir itu sendiri. Jadi terlihat adanya hubungan yang harmonis antara fikir dan zikir dalam al-Qur’an.
Berbeda dengan kaum ateis yang menganggap alam ini sebagai suatu keharusan, jadi alam berevolusi dengan sendirinya tanpa campur tangan Tuhan. Melalui paham ini mereka menciptakan berbagai teori yang lahir dari kegiatan berfikir mereka tanpa menghubungkannya dengan paham agama yang mengakui bahwa ada sesuatu di balik alam ini, yaitu suatu kekuatan yang Maha dan Berkuasa.

DAFTAR PUSTAKA
Hoodhboy, Pezvez, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas antara Sains dan Ortodoksi Islam, terj. Sari Meutia, judul asli: Islam dan Sciense, Religious Orthodoxy and the Battle for Rasionality, Bandung: Mizan, 1996
Munziri, Logika, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Sumantri, Yuyun S. Suria, Ilmu dalam Perspektif, tulisan: JM. Bochenski, Jakarta: Gramedia, 1989, cet. ke-1
Sou’yb, Yoesoef, Logika, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983, cet. ke-1
Sjukur, Asjwadie, Ilmu Tasawwuf, Surabaya: PT.Bina Ilmu 1979
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Pedoman Dzikir dan Do’a, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1956
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fak. Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Yagyakarta: Liberty, 1996
Valiuddin, Mir, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawwuf, terj. Nasrullah, judul asli: Contempletive Disciplines in Sufism, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996
[1]Muhammaed Abdus Salam mengungkapkan bahwa di dalam al-Qur’an bahwa tafakkur dan tazakkur memiliki kapasitas yang sama, menurutnya seperdelapan ayat al-Qur’an berbicara tentang tafakkur dan tazakkur, hal ini tidak lain adalah sebagai motivasi ke arah sains dan teknologi. Lihat Pezvez Hoodhboy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas antara Sains dan Ortodoksi Islam, terj. Sari Meutia, judul asli: Islam dan Sciense, Religious Orthodoxy and the Battle for Rasionality, (Bandung: Mizan, 1996), h. 16
[2]Tim Dosen Filsafat Ilmu Fak. Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yagyakarta: Liberty, 1996), h. 97
[3]Munziri, Logika, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 10-11
[4]Yuyun S. Suria sumantri, Ilmu dalam Perspektif, tulisan: JM. Bochenski, (Jakarta: Gramedia, 1989), cet. ke-1, h. 52
[5]Ibid.
[6]Ibid., h. 54
[7]Yoesoef Sou’yb, Logika, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), cet. ke-1, h. 105
[8]Asjwadie Sjukur, Ilmu Tasawwuf, (Surabaya: PT.Bina Ilmu 1979), h. 125
[9]Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Dzikir dan Do’a, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1956), h. 36
[10]Ibid.
[11]Ibid., h. 126
[12]Mir Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawwuf, terj. Nasrullah, judul Asli: Contempletive Disciplines in Sufism, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h. 84
[13]Ibid.

AL-GAZÂLÎ, IBNU RUSYD DAN PENGARUH AVERROISME DI EROPA

A. Pendahuluan
Al-Gazâlî tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan Islam. Setiap upaya mengenal tokoh-tokoh muslim, sebenarnya adalah upaya untuk mengenal Islam itu sendiri. Hingga sekarang dunia Islam belum mempunyai tokoh agama yang menyamai al-Gazâlî dalam hal keagungan dan keharuman namanya. Ia dikenal sebagai ¦ujj±t al-Isl±m karena pengetahuannya yang luas dan tulisan-tulisannya yang mudah difahami oleh seluruh tingkatan umat.[1]
Al-Gazâlî adalah orang pertama yang mempelajari filsafat serta sanggup mengkritiknya. Hasil peninjauannya terhadap filsafat ini terlihat dalam karyanya yaitu Maq±sid al-Fal±sifah dan Tah±fut al-Falâsifah. Dalam filsafat Islam, menurut Ibnu Khaldun al-Gazâlî adalah orang yang pertama dalam jajaran pemikir Islam yang menggunakan metode baru (°ar³q±t al-Khal±f) di samping metode klasik (°ar³q±t al-Sal±f).[2]
Di dalam perkembangan pemikiran filsafat al-Gazâlî ini dijadikan sebagai patokan dalam membagi periodesasi, karena al-Gazâlî mengemukakan kecaman terhadap para filosof sebelumnya seperti, al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, dan Ibnu Sina yang hidup sebelumnya.[3] Para filosof ini mencoba mempertemukan agama dengan filsafat, akal diberi otoritas yang tinggi dalam usaha menemukan hakikat kebenaran, dan menghadirkan sebuah teori yang khas dan murni bernafaskan Islam yaitu teori kenabian.
Pada periode al-Gazâlî ini terjadi kegoncangan terhadap pemikiran filsafat yang disebabkan kritik al-Gazâlî terhadap filsafat. Pemikiran al-Gazâlî akhirnya berkembang di dunia Islam dan menguasai sebagian besar alam fikiran umat Islam. Pengaruh filsafat metafisika Yunani yang sangat berkembang di zaman al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina segera surut, namun ini hanya terjadi di bagian timur dunia Islam, khususnya dunia Islam sunni.
Di bagian Barat (Andalusia dan Spanyol) malahan sebaliknya, perkembangan filsafat mencapai puncaknya setelah masa al-Gazâlî. Di sini lahirlah filosof seperti Ibnu Bajah, Ibnu °ufail, dan Ibnu Rusyd. Di antara tiga tokoh ini Ibnu Rusyd-lah filosof Islam yang terkenal dan paling berpengaruh di dunia Barat (Eropa).[4] Ibnu Rusyd mengajukan jawaban-jawaban bagi kritik-kritik al-Gazâlî terhadap para filosof sebelumnya. Hal ini terlihat dalam karyanya Tah±fut al-Tah±fut yang dikarangnya setelah 85 tahun al-Gazâlî meninggal dunia.
Untuk lebih jelasnya mengenai kritik al-Gazâlî terhadap para filosof, jawaban Ibnu Rusyd terhadap kritik al-Gazâlî, dan bagaimana pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd di Eropa, akan diuraikan lebih lanjut.
B. Al-Gazâlî dan Kritiknya Terhadap Para Filosof
Nama lengkap al-Gazâlî adalah, Ab­ ¦±mid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Gazâlî al-°usi. Al-Gazâlî lahir pada tahun 450 H/1058 M di °us. Sepanjang hidupnya ia mengembara seperti ke Khurasan, Iran, (tempat kelahiran dan pendidikan dasarnya ditempuh), Bagdad, Irak (adalah di mana al-Gazâlî mencapai puncak akademisnya), Damaskus, al-Quds, Mekah, Medinah dan beberapa kota kecil lainnya. Al-Gazâlî wafat di °us tempat di mana ia dilahirkan pada Tahun 505 H/ 1111 H.[5]
Perjalanan intelektual al-Gazâlî dimulai di kota kelahirannya sendiri. Di antara guru yang membimbingnya adalah Ahmad ibn Muhammad al-Ra©aqani yang mengajarkannya al-Qur’an, Hadi£, serta Ilmu Fikih. Al-Gazâlî belajar dengan ar-Ra©aqani hanya sebentar, kemudian ia berguru lagi kepada Ab­ al-Q±sim al-Isma’ili dalam bidang fikih.[6]
Selanjutnya al-Gazâlî mendalami ilmu pengetahuan ke sekolah tinggi Ni§amiyah Nisapur. Di sinilah al-Gazâlî bertemu dan berguru dengan Imam al-Juwaini, seorang tokoh Asy’ariah yang menjadi Rektor Universitas Ni§amiyah yang terkenal dengan nama Imam al-¦aramain. Al-Juwaini mendorong al-Gazâlî untuk menekuni Ilmu Kalam, Filsafat dan Logika. Selama di Nisapur ini lengkaplah ilmu yang diterima al-Gazâlî, sehingga saat itu ia menjadi figur intelektual yang menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Dalam usia dua puluh lima tahun, al-Gazâlî telah dipercayakan menjadi dosen.[7]
Al-Juwaini memberikan kontribusi yang besar terhadap al-Gazâlî dalam memfilsafatkan kalam Asy’ariyah. Namun sebagaimana yang diterangkan oleh Harun Nasution, al-Gazâlî lebih Asy’ariah dari pada gurunya sendiri.[8]
Dari perjalanan hidup dan karir intelektual al-Gazâlî terlihat bahwa al-Gazâlî adalah seorang tokoh yang sangat berpengaruh di dunia Islam sehingga karya-karyanya yang mencakup berbagai disiplin ilmu mendapat tempat sampai sekarang.
Berbagai kritikan yang dilontarkan kepada para filosof, khususnya kepada al-Farabi dan Ibnu Sina sebenarnya sudah ada sebelum al-Gazâlî. Akan tetapi itu hanya dilakukan atas dasar kesalehan dan kebencian terhadap unsur-unsur luar Islam. Akan tetapi, al-Gazâlî dengan sangat jelas mengemukakan kritikan-kritikannya terhadap para filosof seperti terlihat dalam karangannya Tahâfut al-Falâsifah.
Berangkat dari karyanya, al-Gazâlî mengelompokkan aliran dan sistem filsafat yang banyak kepada tiga kelompok besar; golongan Materialis, kaum Naturalis dan Teis.[9] Kemudian al-Gazâlî mengatakan bahwa filsafat Aristoteles yang dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina terbagai kepada tiga kelompok, yaitu: filsafatnya yang tidak perlu disangkal dengan arti dapat diterima, filsafatnya yang harus dipandang bid`ah (heterodoksi), dan filsafatnya yang harus dipandang kafir. [10]
Untuk lebih jelasnya pengelompokkan di atas, al-Gazâlî membagi ilmu-ilmu filsafat kepada enam bidang; ilmu matematika, logika, fisika, politik, etika, dan metafisika (ketuhanan). Maka selain bidang ilmu ketuhanan, oleh al-Gazâlî, ilmu-ilmu tersebut dapat diterima, karena tidak ada bertentangan dengan syari’at Islam, kendatipun ada negatifnya yang terkandung dalam ilmu-ilmu tersebut. Adapun bidang ketuhanan, sebagaimana yang dijabarkannya dalam kitab Tahâfut al-Falâsifah, al-Gazâlî memandang para filosof sebagai ahl al-bid’ah, dan kafir. Adapun yang dimaksud oleh al-Gazâlî tersebut mencakup ke dalam dua puluh masalah :
1. Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini a©±ly,
2. Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini kekal,
3. Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah-lah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini diciptaknnya,
4. Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta,
5. Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahilnya ada dua Tuhan,
6. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat,
7. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi kepada al-Jins dan al-Fa¡l (differentia),
8. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi Ba¡i¯ (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat),
9. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah tidak ber-jism,
10. Menjelaskan pernyataan mereka tentang ad-dahr (kekal dalam arti tidak bemula dan tidak berakhir),
11. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selainnya,
12. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya,
13. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui yang ju©’iyyât,
14. Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dalam kemauan-Nya,
15. Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet,
16. Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang ju©’iyyât,
17. Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil sesuatu yang terjadi di luar hukum alam,
18. Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauh±r (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh,
19. Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang kemustahilan fana (lenyap) jiwa manusia,
20. Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkit dan yang akan menerima kesenangan dalam sorga dan kepedihan dalam neraka hanya roh saja.[11]
Tiga dari dua puluh masalah di atas, menurut al-Gaz±l³, membuat filosof menjadi kafir, yaitu :
1. Alam dan semua substansi qad³m,
2. Allah tidak mengetahui yang ju©’iyyât, perincian yang terjadi di alam,
3. Kebangkitan di akhirat hanya rohani saja.[12]
Menurut al-Gazâlî kepercayaan dalam tiga masalah ini bertentangan dengan kepercayaan umat Islam dan dipandang mendustakan Rasul Allah. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan :
1. Tentang kadimnya alam (alam tidak bermula).
Al-Gazâlî mengungkapkan dalam Tahâfut-nya bahwa filosof berpendapat alam ini qad³m maksudnya wujud alam ini bersamaan dengan wujudnya Allah, kekadiman Allah dari alam hanya dari segi zat (taqaddum zat³) dan tidak dari segi zaman (taqaddum zaman³), seperti keterdahuluan sebab dari akibat. Al-Gazâlî mengemukakan argumen yang dikemukakan para filosof:
a. Mustahil timbulnya yang baharu dari yang qad³m. Jika Allah qad³m sudah ada, sedangkan alam belum ada. kenapa alam baru ada sekarang tidak sebelumnya? Jika dikatakan Allah berkehendak mencipta, kenapa baru kemudian berkehendak, apakah kehendak tersebut datang dari Zat-Nya atau dari yang lain?[13]
Menurut al-Gazâlî, pendapat ini membawa kepada keyakinan akan adanya yang qad³m selain Tuhan atau berarti banyak yang qadim, sedang dalam keyakinan Islam yang q±dim itu hanya satu, yaitu Tuhan. Paham bahwa ada yang qad³m selain Tuhan adalah syirik. Menurutnya, yang qad³m itu adalah sesuatu yang sudah ada sejak azal³, yang berwujud tanpa sebab. Mengakui alam ini qad³m berarti mengingkari Tuhan sebagai Pencipta, dan ini sama dengan kufur. [14]
Al-Gazâlî menjawab argumen filosof ini, menurutnya tidak ada halangan apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang kadim pada waktu diadakannya. Sedangkan ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut al-Gazâlî adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi membedakan sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja sifat qudrah. Akan tetapi karena sifat qudrah antara mencipta dan tidak sama kedudukannya, karenanya harus ada suatu sifat yang khusus yang membedakannya, yaitu sifat ir±dah.[15]
b. Kekadiman Allah dari alam hanya dari segi zat, sedangkan dari segi zaman sama, karena jika tidak demikian, mesti ada zaman sebelum alam diciptakan. Jika tidak demikian berarti Allah mendahului zaman terbatas pada satu sisi dan tidak terbatas pada sisi awal. Ini berarti sebelum ada zaman sudah ada zaman yang tidak terbatas akhirnya. Hal ini paradok justru itu mustahil zaman ukuran gerak baharu dan harus qad³m. Hal ini dikritik oleh al-Gazâlî, menurutnya memang wujud Allah lebih dahulu dari wujud alam dan zaman. Zaman baharu dan diciptakan, sebelum diciptakan zaman belum ada zaman. Karena zaman adanya setelah adanya alam, sebab zaman adalah ukuran waktu yang terjadi di alam. [16]
Kalau zaman juga qad³m, maka akan membawa kepada pemahaman bahwa ada zaman sebelum adanya Allah. Hal ini disebabkan zaman adalah ukuran waktu.
c. Alam sebelum wujudnya merupakan suatu yang mungkin, kemungkinan ini tidak ada awalnya, dengan arti selalu abadi.
Al-Gazâlî menjawab argumentasi filosof ini, menurutnya alam senantiasa mungkin terjadinya dan setiap saat dapat digambarkan terjadinya. Jika dikatakan bahwa alam ini ada selama-lamanya (qad³m) tentu ia tidak baharu. Kenyataan ini jelas bertentangan dengan kenyataan dan tidak serasi dengan teori kemungkinan.[17]
Dari keterangan di atas terlihat bahwa kritikan al-Gazâlî merupakan usahanya untuk membuktikan bahwa Allah adalah zat yang Maha qad³m, sehingga memungkinkan orang untuk lebih mudah mencerna bahwa Allah-lah yang qad³m. Jadi tidak mengherankan kalau dalam ilmu kalam, syahadat L± ilaha ill±llah bergeser menjadi l± qad³ma ill±llah.[18] Hal ini disebabkan faham adanya yang qad³m selain Allah bisa membawa kepada banyaknya yang qad³m, banyaknya Tuhan, yaitu faham syirik sedang syirik adalah dosa besar yang tidak diampuni Allah, atau faham ateis yang menyatakan alam yang qad³m tidak perlu pada pencipta.
2. Tentang pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
Menurut al-Gazâlî, filosof berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat. Ibnu Sina mengatakan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang kull³. Alasannya jika Allah mengetahui rincian perubahan di alam ini akan membawa perubahan kepada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu. Ini mustahil bagi Allah.[19]
Al-Gazâlî membantah pendapat ini, menurutnya pendapat tersebut akan menyesatkan umat Islam karena paham ini membawa kepada pengingkaran sifat kemahatahuan Tuhan. Tuhan Maha Kuasa dan Maha Tahu. Tuhan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam sampai kepada perincian yang sekecil-kecilnya, tak satu pun yang luput dari pengetahuan Tuhan.[20]
Al-Gazâlî mengatakan bahwa pendapat tersebut merupakan kesalahan yang fatal. Selanjutnya ia mengatakan bahwa perubahan pada objek ilmu tidak akan membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu merupakan I«afah (suatu rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dengan arti keadaan orang yang punya ilmu tidak berubah.[21]
Sebagai pembuktian al-Gazâlî mengemukakan ayat al-Qur’an surat Yunus ayat 61:
… وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَلاَ أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلاَ أَكْبَرَ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ(61)
…Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Apabila diperhatikan al-Gazâlî dan para filosof sebenarnya sepakat bahwa zat dan ilmu Allah tidak mungkin berubah. Perbedaan pendapat mereka adalah pada hal bagaimana Allah mengetahui yang parsial. Ini disebabkan cara pandang mereka dalam menetapkan sifat dan zat Allah.
3. Tentang tidak adanya pembangkitan jasmani
Para filosof berpendapat bahwa yang abadi hanya roh (jiwa), sedangkan jasmani akan hancur dan tidak kekal. Karena itu, pembangkitan nanti pada prinsipnya yang esensi dalam diri manusia adalah jiwanya, bukan jasmaninya.[22] Jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Kendatipun ada gambaran syara’ berupa materi di akhirat, seperti sorga dan neraka, semua itu pada dasarnya simbol-simbol untuk memudahkan pemahaman orang awam. Padahal di akhirat terlalu suci dari apa yang digambarkan oleh orang awam.[23]
Al-Gaz±l³ pada dasarnya tidak menolak adanya kelezatan di akhirat yang lebih tinggi dari di dunia. Menurut al-Gazâlî tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan.[24]
Di sini terlihat perbedaan pemahaman antara filosof sebelumnya dengan al-Gazâlî. Para filosof menganggap mustahil mengembalikan rohani kepada jasad semula. Kembalinya roh kepada jasad menurut mereka merupakan penciptaan yang baru yang tidak sama dengan yang lalu. Al-Gazâlî mengatakan bahwa kekalnya jiwa setelah mati memang tidak bertentangan dengan syara’, akan tetapi kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan syara’, dengan arti jiwa dikembalikan kepada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain atau tubuh yang baru dijadikan.[25]
Jadi pembalasan ukhrawi menuntut pembangkitan jasmani. Ayat-ayat al-Qur'an banyak menyebut soal pembangkitan jasmani dengan gambaran yang bersifat materil, sehingga meyakini tidak adanya pembangkitan jasmani berarti menolak ayat-ayat yang menyatakan adanya. Hal ini dibuktikan dengan ayat al-Qur’an surat Yasin: 78-79:
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلاً وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ(78)قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ(79)
Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.
Pemikiran-pemikiran yang dilontarkan ini membuat al-Gazâlî mengkafirkan orang-orang yang menganut faham-faham filsafat yang demikian. Dan hal inilah kelihatannya yang menyebabkan surutnya perkembangan filsafat di dunia timur, yaitu di bagian dunia Islam sunni. Orang-orang enggan untuk mempelajari filsafat, karena filsafat dianggap mengacaukan keyakinan bahkan menyesatkan. Namun tuduhan semacam ini sepertinya tidak layak dilontarkan kepada al-Gazâlî sebagai penyebab mundurnya filsafat di dunia Islam. Pada dasarnya banyak sekali yang menyebabkan mundurnya perkembangan pemikiran umat Islam masa itu, pergolakan politik juga sangat mempengaruhi.
Jadi, pasca al-Gazâlî filsafat tetap berkembang di dunia Islam, bahkan mengalami penyempurnaan seperti di dunia Syi’i, munculnya Suhrawardi al-Maqtul dengan filsafat Illumunasi-nya dan mengalami penyempurnaan hingga Mulla Sadra dengan Hikmah al-Muta’alliyah-nya. [26]
C. Ibnu Rusyd dan Jawabannya terhadap Kritikan Al-Gazâlî
Ibnu Rusyd adalah filosof muslim yang terakhir muncul di Dunia Islam belahan Barat. Nama lengkapnya adalah Ab­ al-Wal³d Muhammad Ibnu Rusyd. Ia lahir di Kordoba pada tahun 520 H/1126 M dari keluarga hakim-hakim dan wafat di Marakesy (Marokko) pada tahun 595 H/1198 M. Ia dikuburkan di Marakesy tapi tiga bulan kemudian jenazahnya dipindahkan dan dikuburkan di Kordoba.[27]
Setelah menguasai Fikih, Ilmu Kalam dan Sastra Arab dengan baik, Ibnu Rusyd menekuni Matematika, Fisika, Astronomi, Kedokteran, Logika, dan Filsafat. la berhasil menjadi ulama dan sekaligus filosof yang sulit ditandingi. Setelah diperkenalkan oleh Ibnu °ufail kepada Sultan Daulat Muwa¥¥idin, Sultan Ab­ Ya'q­b Y­suf pada tahun 564 H/1169 M, Ibnu Rusyd diminta oleh sultan itu untuk menulis ulasan atau komentar atas karangan-karangan Aristoteles. Sejak tahun itu ia juga, dipercaya menjadi hakim di Seville, dan kemudian sejak tahun 566 H/1171 M ia menjadi hakim kepala di Kordoba. Selanjutnya, sejak tahun 577 H/1182 M ia dipercaya, menjadi dokter istana pada masa Sultan Ab­ Ya'q­b Y­suf dan penggantinya, Sultan Ab­ Y­suf Ya'q­b al-Man¡ur, di Marakesy, Marokko. Setelah mengalami fitnahan dan diasingkan ke Lucena, dekat Kordoba, selama satu tahun (pada 592 H/1195 M), kemudian ia kembali menjadi dokter istana dan dua tahun kemudian ia wafat dalam usia 75 (H)/73 (M) tahun.[28]
Kehebatan Ibnu Rusyd dapat dilihat melalui karya tulisnya. Ia menulis Bid±yat al-Mujtahid, sebuah karya penting berupa fiqh perbandingan yang dipakai secara luas oleh para fuq±ha' sebagai buku rujukan. Untuk menangkis buku Tahâfut al-Falâsifah (Kacaunya Kaum Filosof) karangan aI-Gaz±l³, ia menulis buku dengan judul Tahâfut al-Tahâfut (Kacaunya buku Tahâfut al-Gazâlî), dan untuk menunjukkan hubungan yang serasi antara agama (wahyu) dan falsafat (akal), ia menulis Fa¡l al-Maq±l f³ Mabayn al-¦ikmah wa al-Syar³’ah min al-Itti¡±l (Kata Putus tentang Hubungan antara Falsafat dan Syari’at). Ia juga menulis buku Al-Kasyf an-Man±hil al-Adillah f³ Aq±'id al-Millah (Menyingkap Metode-metode Pembuktian Aqidah Agama) dan sejumlah buku lainnya.[29]
Dalam rangka membela filsafat dan para filosof muslim dari serangan para ulama, terutama serangan dari al-Gazâlî, Ibnu Rusyd antara lain menegaskan bahwa antara agama (Islam) dan filsafat tidak ada pertentangan. Filsafat pada hakikatnya tidaklah lain dari berfikir tentang semua yang dijumpai untuk mengetahui pencipta atau penyebab segala yang ada. Al-Qur’an juga menyuruh manusia berfikir tentang alam yang tampak dalam rangka mengetahui Tuhan. Dengan demikian, sebenarnya AI-Qur’an menyuruh umat manusia untuk melakukan aktivitas filsafat atau mempelajari filsafat, bukan dilarang atau diharamkan. Menurut Ibnu Rusyd, bila terdapat teks wahyu yang arti lahiriahnya bertentangan dengan pendapat akal, maka teks wahyu itu haruslah ditakwilkan atau ditafsirkan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan pendapat akal.
Di bawah ini akan dikemukakan bagaimana Ibnu Rusyd kembali menjawab kritikan-kritikan yang dilontarkan al-Gazâlî terhadap para filosof:
1. Qadimnya Alam
Al-Gazâlî memegang keyakinan kaum teolog mengatakan bahwa alam diciptakan dari tiada menjadi ada. Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya pencipta sebab “yang ada” tidak butuh kepada “yang mengadakan”. Sedangkan menurut filosof alam ini q±dim dengan arti alam ini diciptakan dari sesuatu yang sudah ada.[30]
Dalam rangka menangkis serangan al-Gaz±l³ terhadap paham q±dimnya alam, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham q±dimnya alam itu tidaklah bertentangan dengan ajaran al-Qur’an, bahkan paham yang sebaliknya, yaitu paham para teolog yang menyatakan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada, justru tidak mempunyai dasar dalam al-Qur’an. Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat AI-Quran (11:7; 41:11; 21:30) dapat diambil kesimpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada (al'-adam), tapi dari sesuatu yang telah ada. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa paham qad³m-nya alam tidaklah mesti membawa kepada pengertian bahwa alam itu “ada” dengan sendirinya atau tidak diciptakan oleh Tuhan. Bagi para filosof muslim, alam itu dikatakan qad³m (ada sejak azal³) justru diciptakan oleh Tuhan yang qad³m, sejak azal³. Karena diciptakan sejak azal³, maka akibatnya tentu alam itu menjadi qad³m pula. Bagaimanapun, Tuhan dan alam, kendati dari segi waktu sama-sama qad³m, tetap tidak sekufu atau sederajat karena Tuhan adalah qad³m yang mencipta, sedang alam adalah qad³m yang dicipta atau ciptaan yang qad³m.[31]
Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa al-Gazâlî keliru dalam memahami pendapat filosof tentang kadimnya alam. Al-Gazâlî menuduh para filosof menyamakan kadimnya alam dengan kadimnya Allah, sedangkan dalam pemahaman filosof kadimnya alam adalah sesuatu yang telah ada berubah menjadi ada dalam bentuk yang lain. Penciptaan dari tiada menurut mereka sesuatu yang mustahil.[32] Untuk mendukung pendapatnya, Ibnu Rusyd mengemukakan sejumlah ayat al-Qur’an, seperti surat al-Anbiya’: 30:
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلاً يُؤْمِنُونَ(30)
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?
Jadi perbedaan pendapat ini kelihatannya berpatokan kepada perbedaan pemahaman kaum teolog dan kaum filosof dalam memberikan arti al-I¥da£ dan qad³m. Bagi kaum teolog, al-Ihdats berati menciptakan dari tiada, sedangkan bagi kaum filosof kata itu berarti mewujudkan dari “yang ada” menjadi “ada” dalam bentuk lain.[33] Demikian pula dalam mengartikan qad³m. Bagi kaum teolog, qad³m berarti sesuatu yang mempunyai wujud tanpa sebab sedangkan bagi para filosof, qad³m berarti sesuatu yang kejadiannya dalam keadaan terus menerus tanpa awal dan tanpa akhir.[34]
Kelihatan perbedaan hanya pada masalah perbedaan pemahaman antara filosof dan al-Gazâlî sendiri. Pada dasarnya pendapat mereka tentang penciptaan alam ini tidak berbeda. Jadi sebenarnya tidak perlu ada istilah mengkafirkan.
Lebih lainjut, di dalam menyelesaikan perbedaan pemahaman ini Ibnu Rusyd dalam Fashl al-Maqal nya menjelaskan bahwa perselisihan antara mereka tentang alam ini hanyanya perselisihan dari segi penamaan saja. Namun, mereka sepakat bahwa segala yang ada ini terbagi kepada tiga jenis:
a. Jenis I, wujudnya karena sesuatu yang lain dan dari sesuatu, dengan arti wujudnya ada pencipta dan diciptakan dari benda serta didahului oleh zaman. Jenis ini adalah benda-benda yang dapat diketahui dengan indera, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, udara dan lainnya. Wujud ini mereka namakan dengan baharu.
b. Jenis II, wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini sepakat mereka menamakannya dengan kadim. Ia hanya dapat diketahui dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan memeliharanya. Wujud yang kadim inilah yang disebut dengan Tuhan.
d. Wujud yang ketiga ini adalah wujud di tengah-tengah antara dua jenis ini, yaitu wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman, akan tetapi terjadinya karena sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini adalah alam semesta. Wujud alam ini ada kemiripan dengan wujud pertama dan wujud yang kedua. Wujud alam ini dapat disaksikan dengan indera, sebab itu dikatakan mirip dengan yang pertama. Kemudian wujudnya tidak didahului oleh zaman dan adanya sejak azali, sebab itu ia mirip dengan jenis kedua. Jadi apabila seseorang mengutamakan kemiripannya dengan yang pertama, maka ia akan mengatakan alam itu baharu, demikianlah sebaliknya. Jadi, kalau diambil jalan tengah antara keduanya, sebenarnya alam itu tidak benar-benar kadim, dan tidak pula benar-benar baharu.[35]
Pada bagian terakhir merupakan jalan yang diambil oleh Ibnu Rusyd dalam mempertemukan dua pendapat yang berlawanan tentang kadimnya alam.
2. Pengetahuan Tuhan
Menurut al-Gazâlî para filosof berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui yang parsial di alam.[36] Dalam rangka menangkis serangan al-Gazâlî terhadap para filosof Muslim, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa para filosof Muslim tidaklah mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’³ (individual/perincian) yang terdapat dalam alam semesta ini atau tidak mengetahuinya. Seperti halnya setiap ulama Islam, para filosof Muslim juga berpandangan bahwa Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’³. Sedangkan persoalan yang menjadi sorotan, kata Ibnu Rusyd, bagaimana caranya Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’³ itu. Menurut Ibnu Rusyd, para filosof Muslim berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tentang hal-hal yang bersifat juz'i itu tidaklah seperti pengetahuan manusia tentang hal-hal demikian karena pengetahuan manusia mengambil bentuk efek sedang pengetahuan Tuhan merupakan sebab bagi munculnya kemudian hal-hal yang bersifat juz’³ itu. Selain itu, ketidaksamaan tersebut tersebut adalah jelas karena pengetahuan Tuhan bersifat qad³m, yakni semenjak azali Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’³ itu, pengetahuan manusia bersifat baharu, bukan qad³m, yakni pada mulanya manusia tidak memiliki pengetahuan sama sekali, tapi kemudian secara berangsur-angsur memperoleh pengetahuan setelah bagian demi bagian dari alam semesta itu diperhatikan secara seksama.[37]
3. Gambaran Akhirat
Menurut Ibnu Rusyd sanggahan al-Gazâlî terhadap para filosof tentang tidak adanya kebangkitan jasmani di akhirat tidak benar karena para filosof tidak ada yang mengatakan demikian. [38] Menurut Harun Nasution para filosof tidak ada menyebut-nyebut hal itu, bahkan Al-Farabi dan Ibnu Sina juga tidak menegaskan pendapat mereka yang sebenarnya mengenai masalah ini.[39]
Semua agama menurut Ibnu Rusyd, mengakui adanya hidup kedua di akhirat, sungguhpun ada perbedaan pendapat mengenai bentuknya. Di antara filosof ada yang berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan rohani saja dan ada yang mengatakan rohani dan jasmani. Sesuai dengan hadi£ “Di sana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terlintas pada fikiran”. Kehidupan manusia di akhirat adalah lain dan lebih dari kehidupan di dunia namun yang jelas kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. [40]
Sungguhpun demikian kepada orang awam, karena mereka tidak sanggup menangkap hal-hal yang abstrak, demikian Ibnu Rusyd menjelaskan, lebih baik hidup di akhirat digambarkan dalam bentuk jasmani.[41]
Dalam rangka menangkis serangan al-Gazâlî, Ibnu Rusyd juga menyebutkan bahwa terdapat pertentangan dalam tulisan al-Gazâlî mengenai kehidupan manusia kelak di hari akhirat. Kata Ibnu Rusyd. Al-Gazâlî dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah menyatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan di hari akhirat hanya bersifat rohani semata; akan tetapi, dalam bukunya yang lain, kata Ibnu Rusyd, al-Gazâlî menyatakan bahwa kaum sufi berpendapat bahwa yang akan terjadi di hari akhirat adalah kebangkitan rohani. Jadi, kata Ibn Rusyd, tidaklah ada sebenarnya ijmak (konsensus) para ulama tentang, kebangkitan jasmani di hari akhirat, dan karena itu, paham yang menyatakan kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani saja, tidak dapat dikafirkan dengan alasan adanya ijmak. [42]
Dari pemaparan di atas terlihat bahwa pertentangan antara al-Gazâlî dan para filosof termasuk di dalamnya Ibnu Rusyd tidak jauh berkisar tentang interpretasi ajaran dasar Islam dan bukan berkisar tentang diterima atau tidaknya ajaran tersebut. Kesemuanya mengakui bahwa Tuhan sebagai pencipta dan alam sebagai yang diciptakan. Apakah Tuhan mencipta semenjak azaly sehingga alam bersifat qadim, atau Tuhan mencipta tidak semenjak azaly sehingga alam bersifat baharu. Kemudian tentang Tuhan pengetahuan yang juz’iyat, yang dipersoalkan kaum filosof adalah cara Tuhan mengetahui, menurut mereka Tuhan mengetahui juz’I dengan jalan kulli. Terakhir tentang kebangkitan jasmani, baik kaum filosof atau al-Gazâlî sendiri mengakui adanya hari perhitungan, namun apakah yang menghadapinya roh atau tubuh, ataukah hanya roh saja.
Dalam al-Qur’an sendiri telah jelas terdapat tiga kata yang berhubungan dengan proses penciptaan alam yaitu, kahlq, bad dan fathr. Yang kesemuanya tidak ditemukakan penjelasan yang tegas, apakah alam ini diciptakan dari materi yang sudah ada atau dari ketiadaan.[43]
Terlepas dari masalah-masalah yang diperdebatkan tersebut, terlihat bahwa hal ini disebabkan tidak adanya nash yang menerangkan dengan jelas tentang masalah ini. sehingga interpretasi akal-lah yang menonjol dalam pemahamannya.
D. Averroisme dan Pengaruhnya di Eropa
Prestasi filsafat Ibnu Rusyd merupakan puncak dari kejayaan gelombang pemikiran filsafat di dunia Islam. seperti sebelumnya dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina. Filsafat ini sangat mengemparkan dan mempengaruhi alam fikiran dunia Barat yang beradab pada masa itu. Pemikiran Ibnu Rusyd tidak berkembang di dunia Islam pada waktu itu karena Islam telah dibentengi oleh pemikiran Al-Asy’ari dan al-Gazâlî.[44] Ada beberapa faktor yang menimbulkan perhatian Barat kepada filsafat Ibn Rusyd:
1. Frederik II sebagai pencinta ilmu pengetahuan dan filsafat lebih banyak tertarik kepada komentar-komentar Ibnu Rusyd terhadap Aristoteles.
2. Orang-orang Yahudi, penganut filsafat Ibnu Rusyd berusaha menerjemahkan karya Ibnu Rusyd ke bahasa Ibrani dan Latin. Kemudian mereka menjadi perantara filsafat Barat ke Kristen.
3. Sebagian pengkaji filsafat memandang bahwa untuk memahami filsafat Aristoteles, sebaiknya membaca karya Ibnu Rusyd.[45]
Hal ini yang menyebabkan Eropa tidak sanggup mempertahankan diri dari pengaruh filsafat Ibnu Rusyd ini. Pengaruh Ibnu Rusyd ke Eropa bukan secara langsung tetapi melalui murid-muridnya dari Eropa yang belajar ke Spanyol. Mereka dikenal dengan averroisme.[46] Jadi, Averroisme merupakan suatu aliran filsafat yang azas dasarnya umumnya mengikuti ajaran Ibnu Rusyd.[47]
Sebelum Averroisme muncul, Eropa kosong dengan ilmu pengetahuan, berfikir sempit dan tidak menghargai akal. Bagi mereka satu-satunya sumber kebenaran adalah agama Kristen, apa saja yang tidak sesuai dengan dogma Kristen dianggap salah. Setelah ajaran Averroisme berkembang, Eropa mulai menghargai akal.[48]
Kemunculan Averroisme ini mendorong gerakan penerjemahan terhadap karangan-karangan filsafat, sehingga merangsang bagi munculnya para peminat ilmu dan falsafat dalam jumlah yang semakin lama semakin banyak. Mereka terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen, yang bemukim di Andalusia dan Sisilia, juga mereka yang bermukim di Itali, Prancis, Inggris, dan di daerah lainnya. Para pencari ilmu, dan falsafat dari banyak kota di Eropa, berdatangan ke Andalusia atau Sisilia. Ini berlangsung sejak kedua wilayah itu sedang berada di tangan penguasa Muslim hingga direbut oleh penguasa Kristen. Mereka bangga bila mampu berbicara dan mampu membaca buku-buku dalam Bahasa Arab, sebagaimana bangganya kaum terpelajar dari Asia dan Afrika di masa modern ini bila mampu berbicara dan mampu membaca buku dalam Bahasa Inggris, Prancis, Yunani, atau bahasa dari negara maju lainnya.[49]
Averroisme selalu menisbahkan paham atau gerakan mereka kepada nama Ibnu Rusyd. Penghargaan mereka kepada Ibnu Rusyd sangat tinggi. Komentar-komentar atau pemahaman Ibnu Rusyd atas karya Aristoteles mereka pandang sebagai paling benar dibandingkan dengan komentar-komentar yang dihasilkan oleh penulis-penulis lain sebelumnya.[50] Begitu tinggi penilaian mereka terhadap Ibnu Rusyd sehingga mereka tidak menyadari bahwa pemikiran Ibnu Rusyd yang mereka adopsi hanya penempatan tinggi kepada kemerdekaan berfikir, sedangkan rekonsialiasi filsafat dengan agama yang merupakan ciri utama dari filsafat Ibnu Rusdy tidak mereka perhatikan.
Pada akhirnya, pengkajian mereka dalam bidang filsafat menghasilkan pandangan-pandangan yang sebenarnya tidak pantas lagi mereka nisbahkan kepada Ibnu Rusyd, tapi mereka masih menisbahkannya kepada Ibnu Rusyd, seperti pandangan bahwa akallah satu-satunya sumber kebenaran, sedang agama hanya membawa kepalsuan, dan pandangan bahwa tidak ada imortalitas (keabadian) jiwa secara, personal.[51] Pada perkembangan selanjutnya Averroisme merupakan sebagai gerakan anti agama, dan hanya mengagungkan akal.
Semangat Averroisme yang anti-agama itu mendapat kutukan Gereja. Kaisar Frederik II yang mendukung pengkajian ilmu falsafat itu juga mendapat kutukan dari Paus Innocent III (1198-1216 'M) dan juga dari Paus Honodus II (1216-1227 M) karena aktivitas pengkajian yang didukung kaisar itu dipandang membahayakan Gereja. Kaisar Frederik II merasa cukup kuat dan memandang remeh, sehingga mengabaikan kutukan tersebut.[52] Oleh sebab itu, dalam rangka upaya untuk melawan pandangan-pandangan yang dikembangkan kaum Averroisme, Paus melaksanakan inkuisisi dengan tujuan menghukum siapa saja yang diketahui memiliki pandangan yang bertentangan dengan faham Gereja.
Pertarungan antara Gereja dengan kaum terpelajar yang anti-agama semakin lama semakin dimenangkan oleh pihak yang anti-agama. Pusat studi iImu dan filsafat semakin berkembang di banyak kota di Eropa (antara lain di Padua, Salermo, Bologne, Paris, dan Oxford) dan semakin banyak muncul lingkungan-lingkungan yang bersemangat Averoisme. Di Oxford misalnya, Ibnu Rusyd diagungkan sebagai Komentator Agung bagi karya-karya Aristoteles. Di Paris muncul kelompok kaum terpelajar yang skeptis terhadap agama. Ancaman Gereja kepada Kopernikus, dan Galilei Galileo agar meninggalkan teori helio-sentris menjadi contoh yang paling populer di kemudian hari untuk menunjukkan bahwa betapa Gereja di Eropa selama berabad-abad telah menjadi penghalang kemajuan berfikir dan kemajuan ilmu pengetahuan.[53]
Jadi Averroisme yang berkembang di Eropa pada hakekatnya merupakan pemahaman terhadap filsafat Aristoteles secara murni dan benar sesuai dengan yang dikemukakan Ibnu Rusyd. Namun,mereka tidak mengikuti pemikiran filsafat Ibnu Rusyd secara menyeluruh, tetapi hanya sebagian dari pendapat Ibnu Rusyd tentang kedudukan akal.
Nampaknya pandangan asli dari Ibnu Rusyd memang harus dibedakan dengan pandangan-pandangan kaum Averroisme Eropa. Ibnu Rusyd memang menghargai tinggi martabat dan kemampuan akal manusia, tapi tidak pernah mengingkari kebenaran wahyu (agama). Kaum Averroisme mengagungkan akal sampai ke taraf mengingkari kebenaran agama (wahyu). Pandangan Ibnu Rusyd yang menghargai tingginya akal, jelas berpengaruh kuat pada kaum Averroisme. Akan tetapi pandangan Ibnu Rusyd yang menghargai tinggi agama, tidak berpengaruh kuat pada mereka.
Boleh jadi hal ini disebabkan oleh sikap konservatif bapak-bapak gereja di masa itu yang amat keterlaluan. Ini juga ditambah dengan pandangan kitab suci yang dipegang gereja jauh berbeda dengan pandangan kitab suci Al-Qur’an yang dipegang umat Islam, terhadap aktivitas berfikir dan pencarian ilmu. Karena di dalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak ayat yang mendorong kepada berfikir.
Jadi terlihat bahwa pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd sehubungan dengan penafsirannya terhadap Aristoteles, ternyata sangat mempengaruhi dunia Barat. Dalam melawan pandangan Averroisme ini perlu dikembalikan kepada karya-karya Ibnu Rusyd dan para filosof muslim lainnya, karena dalam karya-karya para filosof muslim itulah dijumpai pandangan-pandangan yang sejalan dengan ajaran-ajaran agama. Dan inilah yang dapat digunakan untuk menandingi atau melawan pikiran-pikiran kaum Averroisme dan kaum sekuler lainnya di Eropa.
Walaun demikian, puncak tradisi filsafat di dunia Barat terjadi ketika Ibn Rusyd tampil sebagai penafsir Aristotelianisme yang paling fasih. Dalam sejarah intelektual umat manusia, tradisi filsafat di belahan Barat ini demikian penting, sebab tradisi ini yang menjembatani alam fikiran Yunani-Arab dengan peradaban Barat modern. Renaissance, yang menandai satu era baru peradaban baru di Barat, memang harus dicari akar-akar intelektualnya pada tradisi filsafat Islam.[54]
Dari sini terlihatlah andil pemikir muslim terutama para filosof dalam memajukan Barat yang sebelumnya terpuruk dalam bidang ilmu pengetahuan serta tunduk di bawah dogma gereja. Dalam perkembangan selanjutnya kajian filsafat marak di belahan Barat, namun akarnya memang senantiasa berada pada penafsiran filosof muslim terhadap filsafat sebelumnya.
E. Penutup
Perkembangan filsafat di dunia Islam tidak terlepas dari pergolakan pemikiran di kalangan pemikir Islam itu sendiri. Setelah filsafat berkembang di dunia Islam -yang bercirikan memadukan pemikiran filsafat Yunani dan Islam-, muncul kegoncangan terhadap pemikiran filsafat. Hal ini disebabkan kritik-kritik al-Gazâlî terhadap pemikiran metafisika yang dikemukakan sebelumnya oleh para filosof , terutama al-Farabi dan Ibnu Sina.
Dua puluh masalah yang dikritik oleh al-Gazâlî, tiga di antara telah dituduh mengkafirkan umat Islam yaitu pendapat bahwa alam ini qadim, Tuhan tidak mengetahui yang juz’i, dan tidak adanya kebangkitan jasmani di akhirat. Tiga kritik inilah yang kemudian dibantah oleh Ibnu Rusyd.
Pemikiran al-Gazâlî ini berkembang di dunia Islam dan menguasai alam pikiran umat Islam masa itu, sehingga pemikiran filsafat yang dikembangkan al-Farabi dan Ibnu Sina surut, terutama di bagian timur dunia Islam yaitu bagian dunia Islam sunni. Kemunduran ini bukan hanya disebabkan oleh kritik al-Gazâlî, namun lebih disebabkan pergolakan politik yang tak henti-hentinya di dunia Islam. Lebih lanjut dalam sejarah dijelaskan bahwa filsafat Islam tetap berkembang di dunia Islam syi’i dan dunia Islam bagian Barat.
Secara bijak Ibnu Rusyd menjelaskan maksud para filosof dalam mengemukakan persoalan yang dikritik oleh al-Gazâlî ini. Berbedanya pemahaman antara al-Gazâlî dengan para filosof, menyebabkan berbeda pula cara memahami masalah metafisika yang dikemukakan para filosof, seperti pengertian qadim dan ihdâts yang dipahami berbeda antara al-Gazâlî dan para filosof.
Ibnu Rusyd, sebagai penafsir pemikiran Aristoteles selanjutnya memegang pengaruh di dunia Islam bagian barat. Pemikirannya berkembang di belahan dunia ini, tetapi selanjutnya mendapat kecaman dari dewan gereja. Penganut pemikiran ini menamai kelompok mereka dengan Averroisme sebagai pengikut pemikiran Ibnu Rusyd. Tetapi sebenarnya mereka tidak cocok dinisbatkan kepada Ibnu Rusyd, karena mereka hanya mengambil sebagian saja pemikiran Ibnu Rusyd tentang penggunaan akal yang seluas-luasnya dan penafsirannya terhadap Aristotelianisme. Ciri Ibnu Rusyd –sebagaimana filosof sebelumnya yaitu menggunakan akal dengan tidak mengabaikan wahyu (agama), sama sekali tidak ada pada mereka. kebebasan berfikir inilah yang pada akhirnya melahirkan kecaman-kecaman keras kaum gereja.
Namun Averroisme yang berkembang di Eropa inilah sebagai babak baru kebangkitan dunia Barat, yang sebelumnya terpuruk dalam kegelapan. Jadi, Renaissance yang muncul di dunia barat sebenarnya berakar pemikir muslim sebelumnya yang telah dijembatani oleh Ibnu Rusyd.


DAFTAR BACAAN
Bakry, Hasbullah, Di Sekitar Scholastik Islam, Yogyakarta: t.tp., 1958
Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Filsafat dalam Islam, Padang: IAIN IB Press, 1999
Depag RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1994
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, terjemahan, Mulyadhi Kartanegara, dengan judul asli : A History of Islamic Philosophy, Jakarta: Pustaka Jaya, 1987
Gazâlî, Imam al-, Tahâfut al-Falâsifah, Sulayman Dunya (ed.) Kairo: Dar al-Ma’arif, 1966
_______________, al-Munqi© min ad-Dhalal, alih Bahasa: Achmad Khudari Soleh, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998
Ibnu Rusyd, Tah±fut al-Tah±fut, ed. Sulaiman Dunya, Kairo : Dâr al-Ma’ârif,1964
Khuzwaini, M. Chatib, “Al-Gazâlî dan Tasawufnya". Makalah Simposium tentang al-Gazâlî, BKSPTIS, Jakarta, 26 Januari 1985,
Madjid, Nurcholish, “Al-Gazâlî dan Ilmu Kalam". Makalah Simposium tentang al-Gazâlî, BKSPTIS, Jakarta, 26 Januari 1985
Nasution, Harun, “Al-Gazâlî dan Filsafatnya". Makalah Simposium tentang al-Gazâlî, BKSPTIS, Jakarta, 26 Januari 1985
______________, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1983
______________, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta:UI Press, 1986
______________, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995
Syarif, M.M., Para filosof Muslim, judul asli: History of Muslim Philosophy , Bandung: Mizan, 1991
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam (Dari al-Gazâlî ke Ibnu Rusyd), Padang: IAIN IB Press, 1999
_____________, Filsafat Islam I, Padang: IAIN IB Press
[1]M. Chatib Khuzwaini, “Al-Gazâlî dan Tasawufnya". Makalah Simposium tentang al-Gazâlî, BKSPTIS, Jakarta, 26 Januari 1985, h. i. Hal ini disebabkan karena al-Gazâlî membagi tingkat pemahaman umat menjadi tiga bagian, yaitu tingkatan awam, tingkatan khawas, dan tingkatan khawas bi khawas. Selain itu al-Gazâlî digelari dengan ¦ujj±t al-Isl±m, karena pembelaan yang dilakukan terhadap Islam. Hal ini terlihat pada serangannya terhadap kaum Ba¯iniyyah, dan kaum filosof. Serangan al-Gazâlî terhadap kaum Ba¯iniyyah karena pandangan mereka atas kemaksuman Imam. Sedangkan kritiknya terhadap filosof adalah di sekitar pemasalahan metafisika. Lihat Imam al-Gazâlî Tahâfut al-Falâsifah, Sulayman Dunya (ed.) (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1962), h. 307
[2]Nurcholish Madjid, “Al- Gazâlî dan Ilmu Kalam". Makalah Simposium tentang al-Gazâlî, BKSPTIS, Jakarta, 26 Januari 1985, h. 8.
[3]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 14-40
[4]Hasbullah Bakry, Di Sekitar Scholastik Islam, (Yogyakarta: t.tp., 1958), h. 81-82
[5]Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Filsafat dalam Islam, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h. 93
[6]Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terjemahan, Mulyadhi Kartanegara, dengan judul asli : A History of IslamicPhilosophy, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), h. 305
[7]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam I, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h. 105, al-Gazâlî juga mengeluarkan karya ilmiahnya yang pertama di bidang ilmu fikih, yang berjudul Ma¥k­l f³ `Ilm al-U¡ûl.
[8]Namun ia berlainan dengan gurunya dan dengan al-Baqilani, faham teologi yang diajukannya boleh dikatakan tidak berbeda dengan faham-faham al-Asy’ari. al-Ghazâlî, seperti Asy’ari tetap mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat kadim yang tidak identik dengan zat-Nya. Juga al-Qur’ân, dalam pendapatnya juga kadim dan tidak diciptakan. Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1986), h. 72-73
[9]Golongan pertama, Dahriyyun (materialis), mereka adalah para filosof pemula yang mengingkari Pencipta dan Pengatur dunia, yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, dan menganggap dunia ini ada dengan sendirinya. Kelompok kedua, Tabi’iyah (naturalis) mereka yang melakukan berbagai penelitian dalam dunia alam dan dunia keajaiban hewan dan tumbuhan-tumbuhan telah mengorbankan banyak tenaga dalam ilmu pembedahan organ hewan. Mereka melihat di sini cukup banyak keanehan ciptaan Tuhan yang memaksa mereka mengakui Pencipta bijaksana yang mengetahui maksud dan tujuan segala sesuatu. Golongan ketiga, kaum Ilahiyyah (Teis) yaitu para filosof yang lebih modern dan mencakup Socrates dan muridnya, Plato dan muridnya Aristoteles. Aristoteles inilah yang mensistematiskan logika dan memekarkan sains-sains itu. Mereka umumnya menyerang dua kelompok sebelumnya yaitu Materialis dan Naturalis. Kaum theis ini membeberkan kekurangan mereka secara efektik sehingga orang lain tidak perlu lagi melakukan tugas tersebut. Lihat Imam al-Ghazâlî, al-Munqi© min ad-Dhalal, alih Bahasa: Achmad Khudari Soleh, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 27-31
[10]Ibid., h. 32
[11]Imam al-Ghazâlî, Tah±fut al-Fal±sifah, op.cit., h. 86-87
[12]Imam al-Ghazâlî, al-Munqi©, op.cit., h. 38
[13]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Dari al-Gazâlî ke Ibnu Rusyd), ( Padang: IAIN IB Press, 1999), h. 10-11
[14]Depag RI, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1994), h. 25
[15]Sirajuddin Zar, loc.cit.
[16]Imam al-Ghazâlî, Tah±fut, op.cit, h. 110-111
[17] Ibid., h. 118
[18]Harun Nasution, Islam Rasional, ( Bandung: Mizan, 1995), h. 379
[19]Imam al-Ghazâlî, Tah±fut,, op.cit., h. 206-207
[20]Depag RI, loc.cit
[21]Imam al-Ghazâlî, Tah±fut, op.cit., h. 213
[22]Depag, loc.cit.
[23]Imam al-Ghazâlî, Tah±fut, op.cit, h. 284
[24]Ibid., h. 289-290
[25]Ibid.
[26]Budhy Munawwar Rahman dan Ihsan Ali Fauzi, Tradisi dan Masa Depan Filsafat Islam, Jurnal Ulum Al-Qur’an, Vol. 1. 1989/1410 H, (Jakarta: LSAF, 1989), h. 103
[27]Abdul Aziz Dahlan, op.cit., h. 113
[28]Ibid., Lihat juga Majid Fakhri, op,cit., h. 374
[29]Lihat, M.M Syarif, Para filosof Muslim, judul asli: History of Muslim Philosophy , (Bandung: Mizan, 1991), h. 197-203
[30]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Dari Al-Gazâlî ke Ibn Rusyd), op.cit., h. 76
[31]Abdul Aziz Dahlan, op.. cit., h. 115
[32]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Dari al-Gazâlî ..), op.cit, h. 77
[33]Ibnu Rusyd, Tah±fut al-Tah±fut, ed. Sulaiman Dunya, (Kairo : Dâr al-Ma’ârif,1969), h.362
[34]Ibid., h. 272
[35]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Dari al-Gazâlî ..), op.cit, h. 78
[36]Ibnu Rusyd, op.cit., h. 711
[37]Abdul Aziz Dahlan, op.cit, h. 117
[38]Loc.cit.
[39]Harun Nasution, “al-Gazâlî dan Filsafatnya". Makalah Simposium tentang al-Gazâlî, BKSPTIS, Jakarta, 26 Januari 1985, h. 7
[40]Ibnu Rusyd, op.cit., h. 866
[41]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, op.cit., h. 47
[42]Ibid., h. 873-874. Lihat Abdul Aziz Dahlan, op.cit., h. 115-116
[43]Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 135
[44]Hasbullah Bakry, op.cit., h. 96
[45]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Dari al-Gazâlî ..), op.cit., h. 103
[46]Loc. cit.
[47]Ibid., h. 125 lihat juga MM Syarif, op.cit., h. 219
[48]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Dari al-Gazâlî ..), op.cit., h. 104
[49]Abdul Aziz Dahlan, op.cit., h. 117
[50]Ibid.
[51]Ibid., h. 113
[52]Ibid.
[53]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Dari al-Gazâlî ..), op.cit., h. 107. Lihat Abdul Aziz Dahlan, op.cit., h. 120
[54]Budhy Munawwar Rahman dan Ihsan Ali Fauzi, op.cit., h. 105