Kamis, 19 Agustus 2010

Gerak Jari Telunjuk, Sunnah [?]

——————————————————————————————————————-

Ketika kita melakukan sholat berjamaah seringkali kita jumpai ada sebagian ikhwah dalam praktek sholatnya menggerak-gerakkan jari telunjuknya ketika tasyahud. Sebagian ikhwah yang lain merasa heran dengan hal itu karena –umumnya- sejak kecil mereka tidak mendapatkan pelajaran tentang hal itu. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah hal itu yakni menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud itu ada keterangan atau contoh dari Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam ? apakah termasuk bagian dari Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam ? Penasaran ? Mari kita ikuti pembahasan berikut :

Pembahasan tentang gerak jari telunjuk ketika tasyahud berpulang kepada hadits Waail bin Hujr yang diriwayatkan dari Zaaidah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Khulaib dari Khulaib bin Syihaab. Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :

أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ زَائِدَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ أَخْبَرَهُ قَالَ قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ فَقَامَ فَكَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا بِأُذُنَيْهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا قَالَ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ لَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا ثُمَّ سَجَدَ فَجَعَلَ كَفَّيْهِ بِحِذَاءِ أُذُنَيْهِ ثُمَّ قَعَدَ وَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا *

Dari Zaaidah bin Qudamah dari ‘Aashim bin Kulaib, ia berkata, “Telah mengabarkan kepadaku bapakku (yaitu Kulaib bin Syihaab) dari Waail bin Hujr –semoga Allah Meridhainya- ia berkata, ‘Aku berkata (yakni di dalam hati): Sungguh! Betul-betul aku akan melihat/memperhatikan bagaimana caranya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendirikan shalat?’

Berkata Waail, ‘Maka aku melihat beliau berdiri (menghadap ke kiblat) kemudian bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya sehingga setentang dengan kedua telinganya. Kemudian beliau meletakkan kedua tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya dan di atas pergelangan dan lengan.’

Berkata Waail,’Ketika beliau hendak ruku’ beliau pun mengangkat kedua tangannya seperti di atas, kemudian beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya (yakni I’tidal) sambil mengangkat kedua tangannya seperti di atas. Kemudian beliau sujud dan beliau letakkan kedua telapak tangannya setentang dengan kedua telinganya. Kemudian beliau duduk (duduk di sini dzahirnya duduk tahiyyat/tasyahhud bukan duduk di antara dua sujud karena Waail atau sebagian dari rawi meringkas hadits ini) lalu beliau menghamparkan kaki kirinya dan beliau letakkan telapak tangan kirinya di atas paha dan lutut kirinya dan beliau jadikan batas sikut kanannya di atas paha kanannya, kemudian beliau membuat satu lingkaran (dengan kedua jarinya yaitu jari tengah dan ibu jarinya), kemudian beliau mengangkat jari (telunjuk)nya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya beliau berdo’a dengannya’

(Berkata Waail), ‘Kemudian, sesudah itu aku datang lagi pada musim dingin, maka aku lihat manusia (para sahabat ketika mendirikan shalat bersama nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam) mereka menggerakkan tangan-tangan mereka dari dalam pakaian mereka lantaran sangat dingin (yakni mereka mengangkat kedua tangan mereka ketika takbir berdiri dan ruku’ dan seterusnya dari dalam pakaian mereka karena udara sangat dingin)’.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh :

1. Ahmad dalam Kitab al Musnad IV/318 dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/444.

2. al Bukhari dalam Kitab Qurratul ‘Ainain bi Raf’,il Yadain Fish Shalah hal. 27 no. 30 secara ringkas dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/445.

3. Abu Dawud dalam Kitab as Sunan I/178 no. 727, Bab Raf’ul yadain fish shalah.

4. an Nasai dalam Kitab as Sunan I/463 no. 888, Bab Maudhi’ul yamin minasy syimali fish shalah. Begitu pula dalam Kitab Sunanul Kubra I/256 no. 873.

5. Ibnu Hibban dalam Kitab ash Shahih, sebagaimana tercantum dalam kitab al Ihsan V/170-171 no. 1860.

6. Ibnu Khuzaimah dalam Kitab as Shahih I/234 no. 480 Bab Wadh’u bathni kaffil yusra rusghi was sa’id jamii’an.

7. ad Darimi dalam Kitab as Sunan I/230 no. 1357.

8. al Baihaqi dalam Kitab Sunanul Kubra II/189 no. 2787 Bab Man rawa annahu asyara biha wa lam yuharrik.

9. ath Thabrani dalam Kitab al Mu’jamul Kabir XXII no. 82 pada hadits Kulaib bin Syihab Abu ‘Ashim al Jarami dari Waa-il bin Hujr.

10. Ibnu Jarud dalam Kitab al Muntaqa no. 208 Bab Shifat shalatin Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam.

Semuanya telah meriwayatkan hadits ini dari satu jalan, yaitu dari jalan Zaa-idah bin Qudamah, dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya (Abu Ashim), dari Waa-il bin Hujr.

Hadits ini memiliki sebuah syahid (pendukung), dari Umar bin al Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa seperti ini dan Syuraih pun membentangkan telapak tangannya yang kiri dan ia berkata, ‘Dengan menggerakkan jari telunjuknya yang kanan’” (HR. Ibnu Adi dalam Kitab al Kaamil fidh Dhu’afa VI/267)

Ibnu Adi meriwayatkannya dari Ahmad bin Ja’far al Balkhi, dari Muhammad bin Umar al Bazzar, dari Syuraih bin an Nu’man dari Utsman bin Miqsam, dari ‘Alqamah bin Marsyad dari Zir bin Hubaisy dari Sa’id bin Abdurrahman dari ayahnya dari Umar bin al Khaththab.

Imam Ibnu Adi berkata tentang perawinya yang bernama Utsman bin Miqsam, “ …dan kesimpulannya (ia seorang perawi) yang lemah, akan tetapi bersamaan dengan kelemahan yang ada padanya, haditsnya boleh ditulis”, hal ini juga dikemukakan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158-159.]

Hadits Waa-il bin Hujr di atas telah disahkan oleh banyak ulama, diantaranya :

1. Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158.

2. Imam Ibnu Hibban, juga sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al Albani dalam Sifat Shalat Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam hal. 158.

3. Imam an Nawawi dalam Kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab III/454.

4. Imam Ibnu ‘Abdil Bar telah mengisyaratkan tentang sahnya hadits ini dalam Kitabnya al Istidzkaar IV/262.

5. Sebagaimana juga Imam al Qurthubi telah menukil pen-shahih-an Ibnu Abdil Bar di atas dalam Tafsir-nya, ketika menafsirkan surat al Baqarah ayat 43.

6. Ibnul Mullaqqin dalam Khulashatu Badril Munir I/139 no. 646.

7. al Hafizh al Baihaqi telah menshahihkan, sebagaimana yang dikatakan oleh al Khaththib asy Syarbini dalam Kitab Mughnil Muhtaj I/255

8. Syaikhul Islam Ibnul Qayyim dalam Kitab Zaadul Ma’ad (I/239)

9. Syaikh al Albani telah menshahihkannya dalam banyak kitabnya, diantaranya : Shifat Shalat Nabi hal. 158, Tamamul Minnah hal. 214, Shahih Sunan Abi Dawud no. 717, Shahih Sunan an Nasai dan Irwaa-ul Ghalil no. 352.

Kesimpulan : Hadits Wail bin Hujr dari jalan Zaaidah dari ‘Ashim adalah hadits Shahih sebagaimana keterangan diatas.

Pertanyaan : “Bukankah ada sebagian ulama yang mendhoifkan hadits diatas dengan alasan tambahan lafadz yuharrikuha (يحركها) pada hadits tersebut adalah syadz karena Zaaidah bin Qudamah telah menyendiri dalam meriwayatkan lafadz يحركها?”

Maka dijawab : Shahih… ada sebagian ulama yang menyatakan hadits tersebut adalah hadits syadz karena tambahan lafadz يحركها. tidak diriwayatkan kecuali dari jalan Zaaidah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Khulaib. Sedangkan setidaknya ada 22 rawi yang meriwayatkan hadits dari ‘Ashim bin Khulaib hanya dengan lafadz إشارة (Isyarat) tanpa ada tambahan يحركها. Dua puluh dua rawi tersebut adalah :

1. Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany 22/37 no.86.

2. Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.

3. Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.

4. Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.

5. ‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.

6. ‘Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.

7. Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.

8. Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.

9. Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.

10. Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.

11. Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.

12. Ghailan bin Jami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.

13. Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/33 no.79.

14. Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.

15. ‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.87.

16. Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.

17. Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.

18. Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.

19. ‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.

20. Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.

21. ‘Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.

22. Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.

Adapun hadits dengan lafadz Isyarat yang dimaksud adalah :

رأى النبي صلى الله عليه وسلم صلى فكبر فرفع يديه فلما ركع رفع يديه فلما رفع رأسه من الركوع رفع يديه وخوى في ركوعه وخوى في سجوده فلما قعد يتشهد وضع فخذه اليمنى على اليسرى ووضع يده اليمنى وأشار بإصبعه السبابة

Aku melihat Nabi mengangkat kedua tangannya dalam shalat ketika takbir …… dan meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya dan lengan tangan kanan di atas paha tangan kanannya, lalu berisyarat dengan jari telunjuknya …” (HR. Ahmad IV/317, ath Thabrani 22/34/81 dan lainnya)

Maka dijawab : Untuk mengetahui sebuah hadits syadz atau tidak kita harus melihat kembali apa itu definis syadz. Berikut adalah penjelasan dua imam besar tentang definisi syadz.

Pertama : Syaikh al Albani berkata dalam mukadimah kitab beliau Tamamul Minnah tentang hadits syadz,

Hadits syadz adalah (hadits) yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yang diterima (periwayatannya, akan tetapi) periwayatannya menyelisihi periwayatan perawi yang lebih utama darinya, sebagaimana yang dipegang oleh para ahlul hadits, dan Ibnu ash Shalah pun telah menerangkan hal itu.

Apabila seorang perawi menyendiri dalam suatu periwayatan, maka harus diperiksa, dan jika perawi yang menyendiri tersebut menyelisihi periwayatan perawi yang lebih utama darinya dari segi hafalan atau pun kedhabitannya maka apa yang diriwayatkannya itu syadz dan tertolak.

Namun apabila dalam (tambahan periwayatannya itu) tidak ada perselisihan dengan apa yang diriwayatkan oleh yang lain, hanya saja ia meriwayatkan sesuatu yang tidak diriwayatkan oleh yang lainnya, maka diperiksa keadaan perawi yang menyendiri ini, jika ia adalah seorang perawi yang adil, hafizh, terpercaya dalam kekokohan serta kedhabitannya maka diterima apa yang ia riwayatkan secara menyendiri tersebut

Kedua : Ibnu Shalah dalam Al-Muqaddimah, halaman 86

إذا انفرد الراوي بشئ نظر فيه ، فإن كان مما انفرد به مخالفا لما رواه من هو أولى منه بالحفظ أو أضبط ، كان ما انفرد به شاذا مردودأ ، وإن لم تكن فيه مخالفة لما رواه غيره وإنما رواه هو ولم يروه غيره ، فينظر في هذا الراوي إلمنفرد ، فإن كان عدلا حافظا موثوقأ وإتقانه وضبطه ، قبل ما انفرد به ، ولم يقدح الانفراد به ، وإن لم يكن ممن يوثق بحفظه وإتقانه لذلك الذي انفرد به ، كان انفراده خارما له مزحزحا له عن حيز الصحيح ، ثم هو بعد ذلك دائر بين مراتب متفاوتة بحسب الحال ، فإن كان المنفرد به غير بعيد من درجة الحافظ الضابط المقبول تفرده ، استحسنا حديثه ذلك ولم نحطه إلى قبيل الحديث الضعيف ، وإن كان بعيدا من ذلك رددنا ما انفرد به وكان من قبيل الشاذ المنكر . . ”

“Jika seorang perawi menyendiri dengan sesuatu, perlu diamati. Jika riwayat tunggalnya bertentangan dengan riwayat orang yang lebih baik dan kuat hafalannya, maka tergolong riwayat syadz dan tertolak. Jika riwayat tunggalnya tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang lain, tetapi hanya dia sendiri yang meriwayatkan, sedang orang lain tidak, maka perlu diamati. Apakah perawi tunggal itu kuat hafalannya dan dapat dipercaya. (Jika yang terjadi seperti itu), maka diterimalah ia (dengan tambahan lafadhnya tersebut). Dan apabila ia tidak baik dan tidak kuat hafalannya, maka terputus dan terlempar jauh dari wilayah keshahihan. Dan setelah itu berada pada tingkat yang berbeda-beda sesuai keadaan. Artinya, jika perawi tunggal itu tidak jauh dari tingkat perawi lain yang kuat hafalan dan diterima kesendiriannya, maka kami golongkan hadits hasan dan kami tidak menjatuhkan pada kelompok hadits dla’if. Tetapi jika tidak, kami golongkan riwayat tunggal itu kepada hadits syadz yang munkar (teringkari)”. —- selesai perkataan Ibnu Shalah —–

Setelah mengetahui definisi tentang hadits syadz di atas maka dua hal yang harus kita lakukan untuk memeriksa apakah hadits Zaaidah bin Qudamah tersebut syadz atau tidak:

Pertama :Memeriksa kondisi perawi hadits tersebut yang diperselisihkan oleh para ulama, dalam hal ini adalah Zaa-idah bin Qudamah. Berikut keterangan dua Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah,

1. al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Taqribut Tahzib no. 1046 berkata, “(Zaa-idah bin Qudamah ini) tsiqatun tsabtun (yakni seorang perawi yang tsiqah lagi tsabit/kuat)”

2. Imam Ibnu Hibban berkata dalam Kitab ats Tsiqat VI/239-240, “Ia (Zaa-idah bin Qudamah) termasuk dari imam yang mutqin, ia tidak menganggap suatu pendengaran, kecuali setelah mengulanginya sebanyak tiga kali dan ia tidak dan ia tidak memuji seorang pun kecuali mereka yang telah disaksikan keadilannya oleh seseorang (imam) dari Ahlus (Sunnah)”

Berkata Syaikh al Albani, “Oleh karena itu tidak mudah bagi kita untuk menganggap syadz riwayat yang disampaikan oleh Zaa-idah (bin Qudamah) ini, khususnya periwayatan yang ia terima dari gurunya ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya. karena apabila kita menganggap syadz, maka niscaya akan banyak sekali riwayat – riwayat yang harus dihukumi seperti itu” (Dinukil dari kaset Imam al Albani yang berjudul Laa Qusyura fil Islam no. 167/8037 al Istiqamah)

Demikianlah pendapat para Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah, yang artinya adalah periwayatan hadits yang dilakukan olehnya dapat diterima.

Kedua : Memeriksa apakah ada pertentangan antara lafadz tahrik bertentangan dengan lafadz Isyarat ? Jawaban yang tepat bahwasanya tidak ada pertentangan antara lafadz tahrik dan isyarat baik ditinjau secara lughoh maupun dari dalil.

Dari segi bahasa dapat difahami bahwa isyarat itu terkadang disertai dengan gerak dan terkadang tanpa disertai dengan gerak (jadi disini yang terjadi bukan pertentangan lafazh, tetapi hanya permasalahan lafazh umum dan lafazh khusus). Syaikh Al ash Sha’idi al ‘Adawi al Maliki dalam Kitab Hasyiyah al ‘Adawi ‘ala Syarbi Kifayatut Thalibur Rabbani I/356 berkata,

Bahwa lafazh isyarat itu lebih umum daripada lafazh tahrik, mungkin berisyarat dengan cara menggerakkan (atau) mungkin tidak”.

Dan apabila ditinjau dari segi dalil, maka ada suatu hadits yang menarik untuk dibahas yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang kisah shalatnya para shahabat di belakang Rasulullah dengan cara berdiri, padahal Rasulullah shalat sambil dalam keadaan duduk, maka beliau pun mengisyaratkan kepada mereka untuk duduk semua (HR. al Bukhari dan Muslim)

Hadits yang dimaksud adalah :

حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أم المؤمنين أنها قالت صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في بيته وهو شاك فصلى جالسا وصلى وراءه قوم قياما فأشار إليهم أن اجلسوا فلما انصرف قال إنما جعل الإمام ليؤتم به فإذا ركع فاركعوا وإذا رفع فارفعوا وإذا صلى جالسا فصلوا جلوسا

Setiap orang pasti dapat dengan cepat memahami dari lafazh hadits tersebut bahwasannya isyarat beliau tidak hanya dengan mengangkat tangan saja, akan tetapi isyarat tersebut juga mengandung gerakan untuk menyuruh para sahabat agar shalat dalam keadaan duduk.

Ringkasnya adalah isyarat tidak menafikan atau meniadakan tahrik, maka pernyataan bahwa isyarat itu bertentangan dengan tahrik adalah tidak benar jika ditinjau dari segi lughah dan dalil.

Sehingga di dalam kitab Tamamul Minnah Syaikh al Albani memberikan kesimpulannya, “Menolak otensitas gerakan telunjuk dalam riwayat terkucil dari Zaid bin Qudamah tanpa perawi – perawi ‘Ashim bin Kulaib yang lain adalah suatu kesalahan besar karena dua alasan, Pertama : Mereka meriwayatkan isyarat dan isyarat tidak bisa menafikan adanya gerakan jari, Kedua : Kejujuran Zaidah (bin Qudamah) dan karena sudah tua, ia sangat teliti dalam meriwayatkan hadits. Para imam sepakat memberikan kesaksian atas dapat dipercayainya dan al Bukhari – Muslim pun berhujjah dengannya”

Kesimpulan : Bahwasanya hadits tahrik Zaaidah bin Qudamah bukanlah hadits syadz, justru hadits inilah yang menjelaskan tentang keumumam lafadz isyarat dalam hadits yang diriwayatkan dari selain Zaaidah bin Qudamah. Allahu A’lam

Pertanyaan : “Ada beberapa hadits yang justru menjelaskan bahwasanya Rasulullah Shollallahu Alaihi Sallam tidak menggerak-gerakkan jari (لا يحركها ), bagaimana penjelasannya ?”

Maka dijawab: Memang benar ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah Shollallahu Alaihi Sallam tidak menggerak-gerakkan jari (لا يحركها ) , setidaknya ada dua buah hadits yaitu hadits Abdullah bin Zubair dan Ibnu Umar Radhiyallahu Anhum. Hadits tersebut adalah :

Hadits Pertama : hadits Abdullah bin Zubair, yakni :

حدثنا حجاج عن بن جريج عن زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله عن عبد الله بن الزبير أنه ذكر أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها قال بن جريج وزاد عمرو بن دينار قال أخبرني عامر عن أبيه أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم يدعو كذلك ويتحامل النبي صلى الله عليه وسلم بيده اليسرى على فخذه اليسرى

Diriwayatkan dari Hajjaj dari Ibnu Juraij dari Ziyad dari Muhammad bin Ajlan dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair, sesungguhnya ia menerangkan, ” Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak menggerak-gerakkannya.” Berkata Ibnu Juraij, “Dan Amr bin Dinar menambahkan, ia berkata, ‘Telah mengkhabarkan kepadaku Amir dari bapaknya (Abdullah bin Zubair) : Sesungguhnya ia telah melihat Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti itu dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.’ “ (HR Abu Dawud no 989)

Hadits Semakna juga diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i dan Imam Baihaqi, berikut haditsnya :

Riwayat Imam Nasa’i 3/32 :

حدثنا حجاج قال بن جريج أخبرني زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله بن الزبير عن عبد الله بن الزبير أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها

Riwayat Imam Baihaqi 2/131-132 :

أخبرنا حجاج بن محمد قال قال بن جريج أخبرني زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله بن الزبير عن عبد الله أنه ذكر أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا لا يحركها

Keterangan dan Takhrij Hadits :

1. Hajjaj disini ialah Hajjaj bin Muhammad sebagaimana yang tercantum di sanad Baihaqi yang lengkapnya : Hajjaj bin Muhammad al Mishishi. ( المصيصي حجاج بن محمد )

2. Ziyad disini adalah Ziyad bin Sa’ad bin Abdurrahman (زياد بن سعد بن عبد الرحمن ), seorang rawi yang tsiqat dan tsabit ( Taqribut Tahzhib 1/268 & Tahdzibut Tahdzib 3/369-370)

3. Perkataan Ibnu Juraij ” Dan Amr bin Dinar menambahkan, ia berkata, ‘Telah mengkhabarkan kepadaku Amir dari bapaknya dan seterusnya.” Menunjukkan bahwa Ibnu Juraij terima dari dua rawi :

a. Pertama, Ziyad dengan lafadz tegas “telah mengkhabarkan kepadaku” (أخبرني ). Coba lihat riwayat Imam Nasa’i dan Imam Baihaqi diatas.

b. Kedua, Amr bin Dinar dengan lafadz tadlisnya ” ia berkata” (قال ). Coba lihat riwayat Imam Abu Dawud diatas.

4. Demikian juga ada dua orang rawi yang terima dari Amir bin Abdullah yaitu Muhammad bin Ajlan dan Amr bin Dinar.

Jelasnya, hadits ini diriwayatkan dari Amir bin Abdillah dari bapaknya Abdullah bin Zubair dengan dua jalan.

Jalan pertama :

· حجاج Hajjaj –

· بن جريج Ibnu Juraij –

· زياد Ziyad –

· محمد بن عجلان Muhammad bin Ajlan -

· عامر بن عبد اللهAmir bin Abdillah –

· Abdullah bin Zubairعبد الله بن الزبير

Dengan Lafadz : أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها ” Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak menggerak-gerakkannya.”

Pada jalan ini terdapat dua illat/penyakit, yaitu :

Pertama : Hajjaj bin Muhammad, meskipun ia seorang rawi yang tsiqat dan tsabit, tetapi di akhir umurnya ia telah ikhtilat (bercampur atau telah berubah hafalannya). Dan dalam keadaan demikian ia masih saja menceritakan hadits. Sedangkan dalam riwayat ini tidak diketahui atau diragukan apakah ia meriwayatkan sebelum ikhtilat atau sesudahnya ? terhadap riwayat yang demikian hukumnya didiamkan atau dianggap lemah selama belum ada keterangan yang tegas atau ada rawi lain yang tsiqat yang menyetujui riwayatnya. Kenyataannya riwayat Hajjaj bin Muhammad telah menyendiri sehingga kalau kita periksa riwayat-riwayat dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair tidak kita dapati tambahan لا يحركها kecuali dari jalan Hajjaj ini ( Baca Tahdzibut Tahdzib 2/205-206 dan Taqribut Tahzhib 1/154)

Kedua : Muhammad bin Ajlan, rawi ini telah dianggap tsiqat oleh imam-imam : Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Nasa’i, al Ijli, As Saji, Ibnu Saad dan Ibnu Hibban dan lain-lain. Rawi yang dipakai oleh imam-imam : Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dan lain-lain. Adapun Imam Bukhari tidak memakainya dikitab Shahihnya sebagai ‘dasar atau hujjah’ kecuali dipakai di riwayat-riwayat muallaq sebagaimana telah diterangkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar di Muqaddimah Faathul Baari hal 458.

Muhammad bin Ajlan ini meskipun ia seorang rawi tsiqat, tetapi ia juga seorang mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh Ibnu Hibban, Ibnu Abi Hatim dan lain-lain. Al Hafidz Ibnu Hajar dikitabnya Thabaqaatul Mudallisin hal 69 telah memasukkannya di martabat ketiga dari rawi-rawi mudallis, yaitu tentang seorang mudallis yang sering melakukan tadlis dan tidak dijadikan hujjah hadits-hadits mereka oleh para imam kecuali mereka menegaskan didalam hadits mereka yang menunjukkan mereka mendengar. Sedangkan dalam hadits diatas Muhammad bin Ajlan telah meriwayatkan dengan lafadz tadlisnya yaitu ia ber-‘an’anah (memakai lafadz عن), dengan demikian riwayatnya tidak dapat diterima.

Pertanyaan :“Bukankah di Musnad Imam Ahmad, Muhammad bin Ajlan telah meriwayatkan dari Amir bin Abdillah dengan lafadz yang tegas yaitu : telah menceritakan kepadaku (حدثني) yang menunjukkan ia betul telah mendengar dan sekaligus hilanglah tadlisnya ?

Maka dijawab : ” betul” untuk lebih jelasnya silahkan lihat hadits berikut :

عن يحيى بن سعيد عن بن عجلان قال حدثني عامر بن عبد الله بن الزبير عن أبيه قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جلس في التشهد وضع يده اليمنى على فخذه اليمنى ويده اليسرى على فخذه اليسرى وأشار بالسبابة ولم يجاوز بصره إشارته

Dari Yahya bin Said dari Ibnu Ajlan, ia berkata, ” Telah menceritakan kepadaku Amir bin Abdillah bin Zubair, dari bapaknya (Abdullah bin Zubair), ia berkata , ‘Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam biasa apabila duduk tasyahud ia letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya dan tangan kirinya diatas paha kirinya sambil ia berisyarat dengan jari telunjuknya, sedangkan pandangannya tidak melampaui isyaratnya. (Dikeluarkan oleh Ahmad 4/3, Abu Dawud 990, Nasa’i 3/33 dan Ibnu Khuzaimah 718 dan ini adalah lafadz Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Albani)

Pertanyaan : Adakah di hadits diatas disebut tambahan لا يحركها ? jawabnya, tidak ada ! maka sebetulnya hadits diatas menjadi hujjah yang memperkuat bahwa lafadz لا يحركها adalah syadz karena menyalahi rawi-rawi yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ajlan sendiri seperti : Yahya bin Said (hadits diatas), Abu Khalid al Ahmar, Laits (Muslim 2/90 dan Ibnu Hibban 1934) dan lain-lain. Dan menunjukkan bahwasanya lafadz لا يحركها tidak datang kecuali dari jalan Hajjaj dan Ibnu Juraij sebagai illat yang lain bagi hadits ini.

Jalan Kedua :

· حجاج Hajjaj –

· Ibnu Juraij – بن جريج

· عمرو بن دينار Amr bin Dinar –

· Amir bin Abdillah – عامر بن عبد الله

· Abdullah bin Zubairعبد الله بن الزبير

Dengan lafadz, أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم يدعو كذلك ويتحامل النبي صلى الله عليه وسلم بيده اليسرى على فخذه اليسرى Sesungguhnya ia telah melihat Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti itu dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.’ “

Pada jalan inipun terdapat dua illat, yaitu :

Pertama : Hajjaj bin Muhammad sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya

Kedua : Tadlisnya Ibnu Juraij dengan lafadz قال . Sudah maklum bahwsanya Ibnu Juraij adalah seorang rawi yang tsiqat akan tetapi mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh banyak imam diantaranya : Ahmad bin Hambal, Nasa’i, Daruquthni, Ibnu Hibban dan lain-lain.Yahya bin Said berkata tentang Ibnu Juraij : Jika Ibnu Juraij didalam riwayatnya menggunakan lafadz حدثني maknanya ia telah mendengar hadits itu secara langsung dari Syaikh/gurunya. Dan apabila ia menggunakan lafadz أخبرني menunjukkan ia yang membaca dihadapan gurunya. Kalau ia meriwayatkan dengan lafadz قال maka disamakan dengan angin yakni tidak diterima riwayatnya

Walhasil dari uraian diatas tahulah kita bahwasanya hadits Abdullah bin Zubair dengan tambahan lafadz لا يحركها adalah hadits dhoif. Allahu A’lam

Hadits Kedua : Hadits Ibnu Umar

حدثنا عمر بن محمد الهمداني ثنا زيد بن أخزم ثنا أبو عامر العقدى ثنا كثير بن زيد عن مسلم بن أبى مريم عن نافع عن بن عمر أنه كان يضع يده اليمنى على ركبته اليمنى ويده اليسرى على ركبته اليسرى ويشير بإصبعه ولا يحركها ويقول إنها مذبة الشيطان ويقول كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفعله

“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam mengerjakannya”. ( Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448)

Keterangan dan Takhrij Hadits :


Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti (jujur tapi banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.


Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :

1. Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththa’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.

2. Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.

3. Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.

4. Yahya bin Sa’id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.

5. Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.

6. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.

7. Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.


Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :


1. Tujuh rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).


2. Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.635.


Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.

Kesimpulan : Dari uraian diatas maka pendapat yang tepat tentang hadits لا يحركها adalah Dhoif. Allahu A’lam.

Pertanyaan : “Kita dapati ada sebagian ulama yang menshahihkan hadits لا يحركها seperti Imam Nawawi dalam majmu’.”

Maka dijawab : Nyatanya hadits tersebut adalah dhoif sebagaimana penjelasan yang telah lalu. Kalaupun ada yang menganggap bahwasanya hadits diatas Shahih (walaupun pendapat yang lebih rajih bahwasanya hadits tersebut dhoif) maka hadits لا يحركها adalah Nafi’ sedangkan hadits يحركها adalah Musbit, sedangkan sudah ma’ruf dikalangan para Ulama akan kaidah المثبت مقدم على النافي Yang menetapkan (adanya gerak jari) didahulukan daripada yang meniadakan (tidak ada gerak jari). Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh dua imam besar yaitu :

Pertama : al-Imam Ibnul Qayyim dikitabnya Zaadul Ma’aad 1/238-239 di ta’liq oleh Abdul Qadir Arnauth dan Syuaib Arnauth, beliau berkata :

وأما حديث أبي داود عَنْ عبد اللّه بن الزبير أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يُشير بأصبعه إذا دعا ولا يُحركها فهذه الزيادة في صحتها نظر، وقد ذكر مسلم الحديث بطوله في ((صحيحه))عنه، ولم يذكر هذه الزيادة، بل قال: كان رسولُ اللّه صلى الله عليه وسلم إذا قَعَدَ في الصلاة، جعل قدمَه اليسرى بين فخذه وساقه، وفرش قدمه اليُمْنى، ووضع يَدَه اليُسرى على رُكبته اليسرى، ووضع يده اليمنى على فخذه اليمنى، وأشار بأصبعه.

وأيضاً فليس في حديث أبي داود عنه أن هذا كان في الصلاة.

وأيضاً لو كان في الصلاة، لكان نافياً، وحديث وائل بن حُجر مثبتاً،وهو مقدَّم، وهو حديث صحيح، ذكره أبو حاتم في ((صحيحه)).

Adapun hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair, Bahwa Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan tidak menggerak-gerakannya. Maka tambahan (tidak menggerak-gerakkan) perlu diteliti keshahihannya. Karena sesungguhnya Imam Muslim telah menyebut hadits ini dengan panjang di(kitab) Shahihnya dari Abdullah bin Zubair dan ia tidak menerangkan tambahan ini, tetapi Abdullah bin Zubair berkata : “Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam apabila duduk di dalam sholat, ia jadikan kaki kirinya diantara paha dan betisnya dan ia hamparkan telapak kaki kanannya, dan ia letakkan tangan kirinya diatas lutut kirinya dan ia letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya sambil beliau berisyarat dengan jari (telunjuk)nya.

Lagi pula, pada hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair ini tidak menunjukkan di dalam sholat. Kalaupun memang di dalam sholat keadaannya sebagai nafi’ (meniadakan menggerak-gerakkan) sedangkan hadits Wail bin Hujr mutsbit (menetapkan adanya menggerak-gerakkan jari) dan mutsbit didahulukan, dan hadits Wail adalah hadits Shahih telah diterangkan oleh Abu Hatim (Ibnu Hibban) di kitab Shahihnya.

Penta’liq kitab Zaadul Ma’aad mengatakan tentang hadits Wail, sanadnya Shahih dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Tentang Abdullah bin Zubair dikatakan “Sanadnya hasan dan telah dishahihkan oleh an Nawawi di Majmu’

Kedua : Ahli Hadits besar Syaikh Albani di kitabnya Sifat Sholat Nabi hal 170, beliau mengatakan :

وحديث أنه كا ن لايحركهالا يثبت من قبل إسنا د ه كما حققته في ” ضعيف أبي داود ولو ثبت فهو نافي و حد يث الباب مثبت و المثبت مقدم على النافي كما هو معروف عند العلماء

Dan bahwasanya beliau tidak menggerak-gerakkan jari telunjuknya, tidaklah tsabit (tetap/kuat) dari jurusan sanadnya sebagaimana telah saya terangkan di Dhoif Abu Dawud, dan kalaupun tsabit, maka dia itu nafi’ (meniadakan), sedangkan hadits dalam bab ini (maksudnya hadits Wail) mutsbit (menetapkan adanya menggerak-gerakkan jari). Dan yang mutsbit itu didahulukan atas nafi’ sebagaimana telah ma’ruf dikalangan para ulama.

Kesimpulan : Bahwasanya menggerak-gerakkan jari telunjuk waktu Tasyahud adalah merupakan Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam, karena telah tsabit dari beliau akan keterangannya. Oleh karena itu hendaklah kita menjaga dan melaksanakan segala sesuatu yang merupakan Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam. Allahu A’lam

Al Faqir Abu Aufa

Maraji’ :

1. Menggerakan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud, Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Pustaka Abdullah, Jakarta, Cetakan Pertama, Rajab 1425 H/Agustus 2004 M.

2. Terjemah Tamamul Minnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Salafy Press, Tegal, Cetakan Pertama, Jumadits Tsani 1422 H/September 2001 M.

3. Al Masaail jilid ke-2, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Daarus Sunnah, Jakarta

4. Kedudukan Hadits menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahud, Ustadz Dzulqarnain bin Sanusi, An-Nashihah.com melalui blog akh Abu Maulid As Salafy di http://antosalafy.wordpress.com/2007/04/03/kedudukan-hadits-menggerakkan-jari-telunjuk ketika-tasyahud/

Derajat Hadits Shalat Tarawih 23 Raka’at

Oleh

Al Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat Hafidhahullah


HADITS PERTAMA

Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi SAW, shalat di bulan Ramadlan dua puluh raka’at, (hadits riwayat : Ibnu Abi Syaibah, Abdu bin Humaid, Thabrani di kitabnya Al-Mu’jam Kabir dan Ausath, Baihaqi & Ibnu Adi dan lain-lain). Di riwayat lain ada tambahan : “Dan (Nabi SAW) witir setelah shalat dua puluh raka’at”.

Riwayat ini semuanya dari jalan Abu Syaibah, yang namanya : Ibrahim bin Utsman dari Al-Hakim dari Misqam dari Ibnu Abbas.

Imam Thabrani berkata : Tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas melainkan dengan isnad ini. Imam Baihaqi berkata : Abu Syaibah menyendiri dengannya, sedang dia itu dlo’if. Imam Al-Haistami berkata di kitabnya “Majmauz Zawaid (3/172) : Sesungguhnya Abu Syaibah ini dlo’if.

Al-Hafidz (Ibnu Hajar) berkata di kitabnya Al-Fath (syarah Bukhari) : Isnadnya dlo’if, Al-Hafidz Zaila’i telah mendlo’ifkan isnadnya di kitabnya Nashbur Rayah (2/172). Demikian juga Imam Shan’ani di kitabnya Subulus Salam (syarah Bulughul Maram) mengatakan tidak ada yang sah tentang Nabi shalat di bulan Ramadlan dua puluh raka’at.

Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berpandangan : Bahwa hadits ini DLO’IFUN JIDDAN (Sangat Dlo’if). Bahkan muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan : MAUDLU’. Tentang kemaudlu’an hadits ini telah beliau terangkan di kitabnya “Silsilah Hadits Dlo’if wal Maudlu” kitab “Shalat Tarawih” dan “Irwaul Ghalil”.

Siapa yang ingin mengetahui lebih luas lagi tentang masalah ini, bacalah tiga kitab Syaikh Al-Albani di atas, khususnya kitab shalat tarawih. Sebagaimana telah kita ketahui dari keterangan beberapa Ulama di atas sebab lemahnya hadits ini, karena di isnadnya ada seorang rawi tercela, yaitu IBRAHIM BIN UTSMAN ABU SYAIBAH.

Ulama-ulama ahli hadits menerangkan mengenai Ibrahim bin Utsman Abu Syaibah, sebagai berikut :

  1. Kata Imam Ahmad, Abu Dawud, Muslim, Yahya, Ibnu Main dll : Dlo’if.
  2. Kata Imam Tirmidzi : Munkarul Hadits.
  3. Kata Imam Bukhari : Ulama-ulama (ahli hadits) mereka diam tentangnya (ini satu istilah untuk rawi lemah tingkat tiga).
  4. Kata Imam Nasa’i : Matrukul Hadits.
  5. Kata Abu Hatim : Dlo’iful Hadits, Ulama-ulama diam tentangnya dan mereka (ahli hadits) meninggalkan haditsnya.
  6. Kata Ibnu Sa’ad : Adalah dia Dlo’iful Hadits.
  7. Kata Imam Jauzajaniy : Orang yang putus (satu istilah untuk lemah tingkat ketiga).
  8. Kata Abu Ali Naisaburi : Bukan orang yang kuat (riwayatnya).
  9. Kata Imam Ad-Daruquthni : Dlo’if.
  10. Al-Hafidz menerangkan : Bahwa ia meriwayatkan dari Al-Hakam hadits-hadits munkar.

Periksalah kitab-kitab :

  1. Irwaul Ghalil, oleh Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. 2 : 191, 192, 193.
  2. Nashbur Raayah, oleh Al-Hafidz Zaila’i. 2 : 153.
  3. Al-Jarh wat Ta’dil, oleh Imam Ibnu Abi Hatim. 2 : 115
  4. Tahdzibut-Tahdzib, oleh Imam Ibnu Hajar. 1 : 144, 145
  5. Mizanul I’tidal, oleh Imam Adz-Dzahabi. 1 : 47, 48

HADITS KEDUA

“Dari Yazid bin Ruman, ia berkata : Adalah manusia pada zaman Umar bin Khattab mereka shalat tarawih di bulan Ramadlan dua puluh tiga raka’at”. (hadits riwayat : Imam Malik dikitabnya Al-Muwath-tha 1/115).

Keterangan :

Hadits ini tidak sah ! Ketidaksahannya ini disebabkan karena dua penyakit :

Pertama :

MUNQATI’ (Terputus Sanadnya). Karena Yazid bin Ruman yang meriwayatkan hadits ini tidak bertemu dengannya. Imam Baihaqi sendiri mengatakan : Yazid bin Ruman tidak bertemu dengan Umar, dengan demikian sanad hadits ini Terputus !

Sanad yang demikian oleh Ulama-ulama ahli hadits dinamakan Munqati’, sedang hadits yang sanadnya munqati’ menurut ilmu Musthalah Hadits yang telah disepakati, masuk dalam hadits Dlo’if yang tidak boleh dijadikan alasan atau dalil. Tentang tidak bertemunya Yazid bin Ruman ini dengan Umar telah saya periksa seteliti mungkin di kitab-kitab rijalul hadits yang ternyata memang benar bahwa ia tidak pernah bertemu atau sezaman dengan Umar bin Khattab.

Kedua :

Riwayat di atas bertentangan dengan riwayat yang sudah shahih di bawah ini :

“Dari Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : “Umar bin Khattab telah memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dariy supaya keduanya shalat mengimami manusia dengan SEBELAS RAKA’AT”.

Sanad hadits ini shahih, karena :

  1. Imam Malik seorang Imam besar lagi sangat kepercayaan yang telah diterima umat riwayatnya.
  2. Muhammad bin Yusuf seorang kepercayaan yang dipakai riwayatnya oleh Imam Bukhari dan Muslim.
  3. Sedang Saib bin Yazid seorang shahabat kecil yang bertemu dan sezaman dengan Umar bin Khatab.
  4. Dengan demikian sanad hadits ini MUTTASHIL (BERSAMBUNG),

KESIMPULAN

  1. Riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa Nabi SAW shalat di bulan Ramadlan (shalat tarawih) 20 raka’at atau 21 atau 23 raka’at tidak ada satupun yang shahih. Tentang ini tidak tersembunyi bagi mereka yang alim dalam ilmu hadits.
  2. Riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa di zaman Umar bin Khattab para shahabat shalat tarawih 23 raka’at tidak ada satupun yang shahih sebagaimana keterangan di atas. Bahkan dari riwayat yang SHAHIH kita ketahui bahwa Umar bin Khattab memerintahkan shalat tarawih dilaksanakan sebelas raka’at sesuai dengan contoh Rasululullah SAW.

Kamis, 15 April 2010

Pengelolaan Sistim Kepemimpinan ABS-SBK Oleh Tungku Tigo Sajarangan

Oleh : Darwin Chalidi

1. Pengantar

Nilai-nilai budaya Minangkabau terkenal dengan Motto “Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Kitabullah (ABS-SBK). Motto ini berbasiskan penghayatan Islam yang diharapkan menjadi bekal utama dalam kehidupan dan menjadi sangat relevan sekali bagi orang Minang karena sebagai bagian dari keyakinan dan keimanan mereka kepada Allah SWT. Motto yang berbasiskan keimanan diyakini akan menjadi panutan hidup bermasyarakat serta beradat sebagai tuntunan bagi orang-orang Minang dimanapun dia berada.

Dengan menghayati motto yang sangat unik ini diharapkan sikap jiwa (mental attitude) dari masyarakat Minangkabau tertuntun oleh akhlak, sesuai bimbingan ajaran Islam, dalam adagium "Adat basandi Syara' ", dan "syara' mamutuih, Adat memakai !". Nilai-nilai budaya ABS-SBK, menjadi pegangan hidup yang positif, mendorong dan merangsang, “force of motivation,” penggerak yang mendinamiseer satu kegiatan masyarakat bernagari Sifat dan kebiasaan-kebiasaan untuk mengembangkan kegiatan ekonomis seperti menghindarkan pemborosan, kebiasaan menyimpan & hidup berhemat, memelihara modal supaya jangan hancur, melihat jauh kedepan. (Kutipan dari tulisan buya Mas’oed)

Sebagai harapan maka sikap jiwa yang lahir dari pemahaman syarak dalam budaya Minangkabau ini, dapat menjadi kekuatan besar dari kekayaan budaya masyarakat yang tidak ternilai besarnya.

Tulisan ini kami rangkum sebagai evaluasi untuk telaahan para pakar dalam membangun karakter orang Minang. Bagaimana tatanan budaya atau atau “deployment” Motto ABS-SBK yang harus dilakukan oleh Tungku Tigo Sajarangan masuk kedalam kehidupan keseharian anak kemenakan Minangkabau yang kita cintai bersama ini.

2. Apa & Bagaimana Motto ABS-SBK supaya dapat dijadikan karakter orang Minang.

Gagasan Budaya Minangkabau yang sampai kekita jaman ini adalah berdasarkan Sumpah Sati Marapalam (SSM) yang diceritakan dalam tambo, Gagasan Minangkabau modern ini tidak ada bukti berbentuk tulisan dalam sajarah modern Minangkabau. Buya Mas'ud pernah memperkirakan pertemuan SSM ini adalah tahun 1816. (Kutipan diskusi Bundo Kanduang)

Sumpah Sati Marapalam ini sebagai cikal bakal ABS-SBK ini dideklarasikan bersamaan waktunya dengan Gerakan Paderi yang dimulai tahun 1803 sampai 1821, dilanjutkan dengan Perang Paderi tahun 1821 sampai 1845.

Gagasan dan cita-cita para niniak mamak orang Minangkabau sebagai pencetus ABS-SBK bagi anak kemenakan Minangkabau mempunyai tekad yang begitu besar. Cita-citanya terutama adalah rasa tanggung jawab untuk memajukan ummat Islam di Minagkabau, sebagai upaya luhur dalam mencari ridha Allah. Cara yang dipilih untuk mewujudkan cita-cita tersebut dengan melalui pengembangan budaya unik Minangkabau dengan konsep pelaksanaan Budaya ABS-SBK.

Berbicara mengenai budaya maka diharapkan seluruh kehidupan di Minangkabau diilhami dari konsep budaya ABS-SBK terbut . Sesuai dengan tulisan Buya Mas’oed budaya yang cocok untuk kehidupan di Minagkabau didasarkan pada nilai-nilai yang dijiwai oleh sifat dan kebiasaan-kebiasaan untuk mengembangkan kegiatan ekonomis seperti menghindarkan pemborosan, kebiasaan menyimpan & hidup berhemat, memelihara modal supaya jangan hancur, melihat jauh kedepan.

Kalau kita setuju dengan tulisan buya tersebut maka sifat-sifat yang dituntut oleh ABS-SBK bagi anak kemenakan Minangkabau dimanapun dia berada adalah sebagai berikut;

a. Menghindarkan pemborosan.
Jiwa ini berarti penuh keikhasan, yakni berbuat sesuatu bukan karena hanya didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu sehingga memboroskan sumber daya alam yang terbatas dimanapun dia berada. Segala perbuatan dilakukan dengan niat semata-mata untuk ibadah, lillah. Jiwa menghindarkan pemborosan ini menciptakan suasana kehidupan anak negeri yang harmonis antara niniak mamak, urang sumando, anak kemenakan dan bundo kanduang. Seluruh elemen orang Minang berusaha untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat. Jiwa ini menjadikan orang Minangkabau senantiasa siap berjuang di jalan Allah, di manapun dan kapanpun.

b. Kebiasaan menyimpan & hidup berhemat
Jiwa ini berarti menjaga kehidupan orang Minang diliputi oleh suasana kesederhanaan. Sederhana tidak berarti pasif atau menerima keadaan, tidak juga berarti miskin dan melarat. Justru dalam jiwa kesederhanan itu terdapat nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup. Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani maju dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi perjuangan dalam segala segi kehidupan .

c. Memelihara modal supaya jangan hancur
Memelihara modal supaya jangan hancur atau dengan kata lain berdikari atau kesanggupan menolong diri sendiri merupakan senjata ampuh yang dibekalkan oleh nagari Minangkabau kepada para anak kemenakannya. Berdikari tidak saja berarti bahwa orang Minang sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi nagari Minangkabau itu sendiri sebagai lembaga pendidikan bagi anak negeri siapapun dia dan sanggup berdikari sehingga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain. Inilah konsep ekonomi kerakyatan Minang (sama-sama memberikan iuran dan sama-sama memakai). Dalam pada itu, Minangkabau tidaklah bersifat kaku, sehingga menolak orang-orang yang hendak membantu. Semua pekerjaan yang ada di dalam nagari dikerjakan oleh niniak mamak beserta anak kemenakan sendiri.

d. Melihat jauh kedepan
Melihat jauh kedapan sama dengan bersifat bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari berbagai pengaruh negatif dari luar, masyarakat.. Jiwa bebas ini akan menjadikan orang Minang berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan. Hanya saja dalam kebebasan ini harus berhati-hati karena seringkali ditemukan unsur-unsur negatif, yaitu apabila kebebasan itu disalahgunakan, sehingga terlalu bebas (liberal) dan berakibat hilangnya arah dan tujuan atau prinsip. Sebaliknya, ada pula yang terlalu bebas (untuk tidak mau dipengaruhi), berpegang teguh kepada tradisi yang dianggapnya sendiri telah pernah menguntungkan pada zamannya, sehingga tidak hendak menoleh ke zaman yang telah berubah. Akhirnya dia sudah tidak lagi bebas karena mengikatkan diri pada yang diketahui saja. Oleh karena dapat melihat jauh kedepan maka orang minang akan menjadi tawadhu dan iklhas dalam menjalankan syariat Islamnya.

Jiwa yang meliputi suasana kehidupan ber orang Minang itulah yang harus dibawa oleh anak kemenakan Minang sebagai bekal utama di dalam kehidupannya. Jiwa ini juga harus dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya dengan dimotori dan diayomi oleh Para Pemimpin Tungku Togo Sajarangan.

3. Apa Yang harus dilakukan untuk mengembalikan karakter orang Minang sesuai dengan ABS-SBK.

Untuk mengembalikan karakter orang minang kembali ke ABS-SBK adalah tugas berat dan berjangka panjang yang perlu menjadi acuan Tungku Tigo Sajarangan untuk menjadikan Motto dan Nilai berikut menjadi bagian keseharian dari kehidupan orang;

Motto “Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Kitabullah (ABS-SBK)

Nilai-nilai yang menjadi langkah aksi setiap perbuatan orang Minang adalah;
1. Menghindarkan pemborosan.
2. Kebiasaan menyimpan & hidup berhemat
3. Memelihara modal supaya jangan hancur
4. Melihat jauh kedepan

Tidak ada hal yang unik dari nilai-nilai yang harus dilaksanakan oleh orang minang karena sangat universal sifatnya sehingga tidak akan ada konflik dengan masyarakat non-minang. Yang penting bagaimana membuat nilai-nilai diatas tercermin dalam kehgidupan keseharian seluruh masyarakat minang. Untuk menterjemahkan nilai2 ini kedalam kehidupan keseharian orang minang adalah mencoba hidup dengan aturan2 yang bersumber dari nilai-nilai tersebut, antara lain;

1. Menghindarkan pemborosan.
Untuk menjadikan nilai ini menjadi keseharian dalam kehidupan orang Minang maka mereka harus memperlihatkan dua tingkah laku:
a. Efisien – Efisien dalam menggunakan waktu, uang, dan sumber daya yang dimiliki sebenar-benarnya untuk kemasylahatan umat.
b. Influencer – Influencer (mempengaruhi) yang handal untuk medorong semua pihak terkait didalam nagari menjadi efisien sehingga hari ini lebih baik dari kemaren sesuai dengan Syariat Islam

2. Kebiasaan menyimpan & hidup berhemat
Orang Minang akan memperlihatkan secara nyata diikuti tingkah laku yang mencerminkan dua hal berikut:
a. Komit – Selalu amanah dan komit untuk melaksanakan kewajiban.
b. Kerja Keras – Selalu bergerak untuk berkarya sehingga tidak ada waktu yang terbuang percuma

3. Memelihara modal supaya jangan hancur
Orang Minang sebagai pedagang yang ulet dan sudah menjadi trade mark dimana-mana di negeri ini selalu melihatkan tindakan2 berikut dalam kesehariannya
a. Inovator – Orang Minang itu selalu melakukan inovasi dalam melihat peluang dan memelihara kemampuan ini serta menurunkannya keanak dan cucu untuk kemashlahatan umat
b. Cerdas – Kecerdasan adalah sumberdaya utama orang Minang yang didapat dari usaha belajar yang tekun dan selalu mencari yang terbaik

4. Melihat jauh kedepan
Sebagai orang Minang yang terkenal perantau maka perlu menunjukkan kebiasaan kebiasaan berikut dalam kesehariannya
a. “Respect” – Menghargai orang lain termasuk dan tidak terbatas kepada ide, ilmu, dan hasil karya mereka
b. Dipercaya – Selalu membuktikan bahwa mereka sangat dapat dipercaya serta amanah.

4. Apa yang harus dilakukan untuk membentuk kembali karakter orang Minang sesuai dengan ABS-SBK.

Pengembalian karakter orang Minang sesuai dengan ABS-SBK membutuhkan kerja keras seluruh elemen masyarakat Minag dimanapun dia berada. Pekerjaan membudayakan umat Minang berbasiskan SBS-SBK ini perlu waktu dan seluruh pihak harus menyetujuinya.
Langkah-langkah yang perlu diambil dibagi dalam tiga tahap

Tahap I Penerimaan, Penghargaan & Penalti (Reward & Punishment) budaya ABS-SBK
Tahap II Sistim monitor & pengawasan budaya ABS-SBK
Tahap III Sistim kesinambungan karakter ABS-SBK

Berikut ini kiat2 untuk memastikan terjadinya pelaksanaan karakter tersebut secara benar dan ter-arah

Tahap I - Penerimaan, Penghargaan & Penalti (Reward & Punishment) budaya ABS-SBK

Tahap pertama yang paling krusial dan tidak boleh diliwati adalah kesediaan dan kesiapan masyarakat yang merasa dirinya orang Minang untuk menerima budaya ABS-SBK ini secara utuh termasuk dan tidak terbatas dengan menerima konsekuensi moral akibat tidak melaksanakan Motto “Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Kitabullah (ABS-SBK) serta nilai-nilai yang mendukung motto.

Maksud menerima motto dan nilai ini oleh orang Minang dimanapun dia berada adalah secara sukarela mau terlibat dan aktif melaksanakan nilai-nilai yang teridiri dari 8 (delapan) nilai yaitu Efisien, ”Influencer”, Komit, Kerja Keras, Inovator, Cerdas, “Respect,” & Dipercaya. Tidak ada yang baru dari nilai-nilai ini yang diturunkan dari ABS-SBK, nilai yang dikehendaki oleh kita yang mengaku orang Minang, kalau semua sudah setuju menganut ABS-SBK adalah sangat universal sifatnya dan dapat dengan mudah menjadikan anak nagari Minangkabau sudah mempunyai modal dalam kompetisi global.

Penghargaan yang bagaimana dapat diberikan kepada anak nagari Minangkabau yang berhasil melaksanakan nilai-nilai yang delapan tersebut. Penghargaan yang perlu dikemukakan adalah keberhasilan mereka menjadi orang2 yang optimis karena berhasil dalam kehidupan mereka akibat langsung dari melaksanakan budaya ABS-SBK. Penghargaan lain secara moral adalah diakuinya mereka sebagai orang Minang yang berkarakter sehingga dicari-cari oleh relasi mereka untuk berusaha.

Akhirnya masyarkat Minang harus memberikan penalti baik secara moral maupun bentuk lain kepada orang-orang Minang yang tidak melaksanakan budaya ABS-SBK. Bentuk penalti ini adalah hal yang paling berat tetapi karena nilai-nilai yang dianut sudah memberikan modal seperti Provokatif dan Cerdas sehingga pelaksanaan penalti kepada dunsanak, anak-kemenakan yang tidak ikut berbudaya akan dapat dilaksanakan dengan cantik dan elegan.

Realisasi dari tahap I ini sangat tergantung kepada situasi masyarakat Minang setempat, bisa cepat kalau Tungku Tigo Sajarangan dihargai secara utuh oleh anak nagarinya, sedangkan bagi nagari lain yang masih dalam proses penyatuan akan berjalan lambat dan mungkin menjadi proses yang tidak akan pernah selesai. Disinilah kesatuan umat Minang sangat diperlukan untuk mengangkat nagari2 yang sangat ketinggalan dalam pembentukan Tungku Tigo Sajarangan.

Tahap II Sistim monitoring & pengawasan budaya ABS-SBK

Tahapan ke dua inilah kunci dari keberhasilan pelaksanaan sistim kepemimpinan Tungku Tigo Sarangan berbasis ABS-SBK.

Kunci pelaksanaan budaya atau karakter di masyarakat apalagi masyarakat luas seperti Minangkabau ini adalah dengan pendekatan patronisme, artinya dimulai dari pimpinan yang melakukan internalisasi budaya yang dikehendaki. Salah satu dari perusahaan besar dengan jumlah karyawan seluruh dunia mencapai 500,000 orang sangat berkarakter sehingga kita langsung dapat menerka mereka dari perusahaan tersebut karena tercermin dari tindakan2 keseharian mereka.

Atau sebuah bangsa yang sangat berkarakter adalah Jepang yang rakyatnya sangat berkarakter dan sangat tahu apa yang akan mereka lakukan untuk kesehariannya. Salah satu bangsa yang juga sudah terformulasi budaya atau karakter adalah Singapura yang tidak begitu jauh dari ranah Minangkabau.

Bagaimana mereka membentuk budaya tersebut adalah dengan menunjukkan karakter yang diinginkan untuk bangsanya, dan itu dimulai oleh bapak bangsa yaitu Mr. Lee Kuan Yeuw dan sekarang bangsa itu sudah tertanam budaya yang sangat lentur menghadapi globalisasi.

Kembali kepada ranah Minang, disinilah peran dan fungsi Tungku Tigo Sajarangan (TTS) sebagai struktur tertinggi dari adat Minangkabau. Sebelum kita membicarakan role dan fungsi TTS maka kita perlu melihat sekilas siapa dan bagaimana struktur TTS ini. Menurut Buya Mas’oed mereka adalah urang nan 4 Jinih (Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiek Pandai, Para Pemuda dan Bundo Kanduang), yang semuanya merupakan tali tigo sapilin, didalam susunan bernagari dan menjadi tungku tigo sajarangan sebagai salah satu struktur masyarakat adat di Minangkabau.

Sistim pengawasan dan monitoring dapat kita pisah-pisahkan berdasarkan strutur TTS yaitu:

a. Bidang Karakter Umat oleh Ninik Mamak dan Alim Ulama
b. Bidang Karakter Pembangunan oleh Cadiek Pandai dan Pemuda
c. Bidang Karakter Pendidikan oleh Bundo Kanduang

Berikut ini adalah penjelasan masing-masing Bidang sesuai dengan fungsi strutur TTS

a. Bidang Karakter Umat oleh Ninik Mamak dan Alim Ulama

Sistim monitoring & pengawasan budaya bidang Karakter Umat, harus dimulai internalisasi delapan nilai-nilai yang telah dijelaskan diatas oleh para pemangku Ninik Mamak dan Alim Ulama. Karena mereka menjadi panutan oleh orang nagari, maka tidak bisa tidak mereka harus menjadi contoh melakukan tindakan-tindakan keseharian berdasarkan delapan nilai.

Secara berkala para Ninik Mamak dan Ulama harus meminta masukkan dari orang nagari baik secara formal maupun informal bagaimana pandangan mereka terhadap pelaksanaan budaya ABS-SBK mereka. Umpan balik dari seluruh masyarakat nagari akan secara tidak langsung melakukan sosialisasi mengenai delapan nilai ABS-SBK tersebut.

b. Bidang Karakter Pembangunan oleh Cadiek Pandai dan Pemuda

Sistim monitoring & pengawasan budaya bidang Karakter Pembangunan Nagari adalah fungsi utama Cadiak Pandai dan Pemuda yang juga sebagian besar merupakan pimpinan formal nagari (Umaro), Melalui sistim birokrasi nagari maka karakter atau budaya ABS-SBK dapat disosialisasikan, caranya sama yaitu dengan para Cadiak Pandai dan Pemuda melakukan internalisasi delapan nilai-nilai dalam pelaksanaan tugas keseharian mereka.

Secara berkala para Cadiak Pandai dan Pemuda harus meminta masukkan dari jajaran birokrasi baik secara formal maupun informal bagaimana pandangan mereka terhadap pelaksanaan delapan nilai budaya ABS-SBK mereka. Umpan balik dari seluruh jajaran birokrasi juga secara tidak langsung telah melakukan sosialisasi mengenai delapan nilai ABS-SBK tersebut.

c. Bidang Karakter Pendidikan oleh Bundo Kanduang

Sistim monitoring & pengawasan budaya bidang Karakter Pendidikan adalah fungsi utama Bundo Kanduang yang juga sebagian besar merupakan tulang punggung keluarga, Melalui rumah tangga maka karakter atau budaya ABS-SBK dapat disosialisasikan, caranya sama yaitu dengan para Bundo Kanduang melakukan internalisasi delapan nilai-nilai dalam pelaksanaan tugas keseharian mereka didalam rumah tangga.

Secara berkala para Bundo Kanduang melakukan diskusi dengan anak-anak mereka untuk mendiskusikan secara informal bagaimana pandangan mereka terhadap pelaksanaan delapan nilai budaya ABS-SBK oleh para Bundo Kanduang. Umpan balik dari anak-anak juga secara tidak langsung telah melakukan sosialisasi mengenai delapan nilai ABS-SBK tersebut kepada mereka dalam dimulai dari rumah tangga.

Tahap III Sistim kesinambungan karakter ABS-SBK

Tahap ketiga yang juga sangat krusial dan tidak boleh diliwati adalah menjaga sustainability dari budaya ABS-SBK. Diawal pelaksanaan budaya ABS-SBK seluruh anak nagari Minangkabau sangat komit untuk melaksanakan dan budaya ini berhasil merasuk kedalam qalbu mereka. Seingat penulis, diwaktu kecil pendidikan budaya ABS-SBK diajarkan di surau-surau sebelum tidur.

Kebiasaan tidur disurau bagi anak-anak laki yang telah bersunat merupakan keharusan. Pelajaran budaya ABS-SBK jaman sisuak itu memang dimulai dari surau dan ternyata berhasil. Kebiasaan mendidik pemuda disurau jaman dulu secara tiba-tiba berhenti sewaktu adanya pergolakan daerah di tahun 1957an. Sehingga sustainability budaya ABS-SBK tersebut secara perlahan-lahan mulai kabur atau menghilang dari nagari Minangkabau.

Tugas mempertahankan budaya ABS-SBK tersebut merupakan suatu pergolakan tersendiri dan perlu dibahas secara tersendiri.

5. Penutup.

Sebagai penutup untuk dapat diingat bersama dalam Mengelola Budaya untuk masyarakat (Managing Values) berdasarkan gagasan dan cita-cita para niniak mamak orang Minangkabau sebagai pencetus ABS-SBK bagi anak kemenakan Minangkabau yang mempunyai tekad begitu besar. Cita-citanya terutama adalah rasa tanggung jawab untuk memajukan ummat Islam di Minagkabau.

Generasi awal pencetus ABS-SBK ini berhasil menanamkan nilai-nilai budaya ini, karena Tigo Tungku Sajarangan sangat mengabdikan dirinya untuk kemajuan anak nagari. Sayang karena adanya pergolakan di era tahun 1957an akar budaya orang Minang tercerabut sehingga hilang dari masyarakat.

Pengembalian budaya atau karakter orang Minang dengan 8 (delapan) nilai-nilai yaitu Efisien, ”Influencer”, Komit, Kerja Keras, Inovator, Cerdas, “Respect,” & Dipercaya hanya dapat terlaksana kalau Tigo Tungku Sajarangan melakukan internalisasi dalam diri mereka nilai-nilai ini secara khaffah. Kalau itu tidak dilakukan maka jangan harap masyarakat Minangkabau akan berobah.

Demikanlah sumbangsih sedikit dari kami, semoga pembahasan sistim kepemimpinan berbasiskan budaya untuk membentuk karakter sebuah nagari berdasarkan pengalaman penulis yang pernah berkarya diperusahaan kelas dunia dan juga konsultan budaya bagi perusahaan-perusahaan dapat membantu terciptanya budaya ABS-SBK bagi nagari Minangkabau.

Darwin Chalidi – Character Building & Human Resource Management Consultant di Jakarta. Urang Minang yang gadang dirantau