Kamis, 15 April 2010

Pengelolaan Sistim Kepemimpinan ABS-SBK Oleh Tungku Tigo Sajarangan

Oleh : Darwin Chalidi

1. Pengantar

Nilai-nilai budaya Minangkabau terkenal dengan Motto “Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Kitabullah (ABS-SBK). Motto ini berbasiskan penghayatan Islam yang diharapkan menjadi bekal utama dalam kehidupan dan menjadi sangat relevan sekali bagi orang Minang karena sebagai bagian dari keyakinan dan keimanan mereka kepada Allah SWT. Motto yang berbasiskan keimanan diyakini akan menjadi panutan hidup bermasyarakat serta beradat sebagai tuntunan bagi orang-orang Minang dimanapun dia berada.

Dengan menghayati motto yang sangat unik ini diharapkan sikap jiwa (mental attitude) dari masyarakat Minangkabau tertuntun oleh akhlak, sesuai bimbingan ajaran Islam, dalam adagium "Adat basandi Syara' ", dan "syara' mamutuih, Adat memakai !". Nilai-nilai budaya ABS-SBK, menjadi pegangan hidup yang positif, mendorong dan merangsang, “force of motivation,” penggerak yang mendinamiseer satu kegiatan masyarakat bernagari Sifat dan kebiasaan-kebiasaan untuk mengembangkan kegiatan ekonomis seperti menghindarkan pemborosan, kebiasaan menyimpan & hidup berhemat, memelihara modal supaya jangan hancur, melihat jauh kedepan. (Kutipan dari tulisan buya Mas’oed)

Sebagai harapan maka sikap jiwa yang lahir dari pemahaman syarak dalam budaya Minangkabau ini, dapat menjadi kekuatan besar dari kekayaan budaya masyarakat yang tidak ternilai besarnya.

Tulisan ini kami rangkum sebagai evaluasi untuk telaahan para pakar dalam membangun karakter orang Minang. Bagaimana tatanan budaya atau atau “deployment” Motto ABS-SBK yang harus dilakukan oleh Tungku Tigo Sajarangan masuk kedalam kehidupan keseharian anak kemenakan Minangkabau yang kita cintai bersama ini.

2. Apa & Bagaimana Motto ABS-SBK supaya dapat dijadikan karakter orang Minang.

Gagasan Budaya Minangkabau yang sampai kekita jaman ini adalah berdasarkan Sumpah Sati Marapalam (SSM) yang diceritakan dalam tambo, Gagasan Minangkabau modern ini tidak ada bukti berbentuk tulisan dalam sajarah modern Minangkabau. Buya Mas'ud pernah memperkirakan pertemuan SSM ini adalah tahun 1816. (Kutipan diskusi Bundo Kanduang)

Sumpah Sati Marapalam ini sebagai cikal bakal ABS-SBK ini dideklarasikan bersamaan waktunya dengan Gerakan Paderi yang dimulai tahun 1803 sampai 1821, dilanjutkan dengan Perang Paderi tahun 1821 sampai 1845.

Gagasan dan cita-cita para niniak mamak orang Minangkabau sebagai pencetus ABS-SBK bagi anak kemenakan Minangkabau mempunyai tekad yang begitu besar. Cita-citanya terutama adalah rasa tanggung jawab untuk memajukan ummat Islam di Minagkabau, sebagai upaya luhur dalam mencari ridha Allah. Cara yang dipilih untuk mewujudkan cita-cita tersebut dengan melalui pengembangan budaya unik Minangkabau dengan konsep pelaksanaan Budaya ABS-SBK.

Berbicara mengenai budaya maka diharapkan seluruh kehidupan di Minangkabau diilhami dari konsep budaya ABS-SBK terbut . Sesuai dengan tulisan Buya Mas’oed budaya yang cocok untuk kehidupan di Minagkabau didasarkan pada nilai-nilai yang dijiwai oleh sifat dan kebiasaan-kebiasaan untuk mengembangkan kegiatan ekonomis seperti menghindarkan pemborosan, kebiasaan menyimpan & hidup berhemat, memelihara modal supaya jangan hancur, melihat jauh kedepan.

Kalau kita setuju dengan tulisan buya tersebut maka sifat-sifat yang dituntut oleh ABS-SBK bagi anak kemenakan Minangkabau dimanapun dia berada adalah sebagai berikut;

a. Menghindarkan pemborosan.
Jiwa ini berarti penuh keikhasan, yakni berbuat sesuatu bukan karena hanya didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu sehingga memboroskan sumber daya alam yang terbatas dimanapun dia berada. Segala perbuatan dilakukan dengan niat semata-mata untuk ibadah, lillah. Jiwa menghindarkan pemborosan ini menciptakan suasana kehidupan anak negeri yang harmonis antara niniak mamak, urang sumando, anak kemenakan dan bundo kanduang. Seluruh elemen orang Minang berusaha untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat. Jiwa ini menjadikan orang Minangkabau senantiasa siap berjuang di jalan Allah, di manapun dan kapanpun.

b. Kebiasaan menyimpan & hidup berhemat
Jiwa ini berarti menjaga kehidupan orang Minang diliputi oleh suasana kesederhanaan. Sederhana tidak berarti pasif atau menerima keadaan, tidak juga berarti miskin dan melarat. Justru dalam jiwa kesederhanan itu terdapat nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup. Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani maju dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi perjuangan dalam segala segi kehidupan .

c. Memelihara modal supaya jangan hancur
Memelihara modal supaya jangan hancur atau dengan kata lain berdikari atau kesanggupan menolong diri sendiri merupakan senjata ampuh yang dibekalkan oleh nagari Minangkabau kepada para anak kemenakannya. Berdikari tidak saja berarti bahwa orang Minang sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi nagari Minangkabau itu sendiri sebagai lembaga pendidikan bagi anak negeri siapapun dia dan sanggup berdikari sehingga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain. Inilah konsep ekonomi kerakyatan Minang (sama-sama memberikan iuran dan sama-sama memakai). Dalam pada itu, Minangkabau tidaklah bersifat kaku, sehingga menolak orang-orang yang hendak membantu. Semua pekerjaan yang ada di dalam nagari dikerjakan oleh niniak mamak beserta anak kemenakan sendiri.

d. Melihat jauh kedepan
Melihat jauh kedapan sama dengan bersifat bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari berbagai pengaruh negatif dari luar, masyarakat.. Jiwa bebas ini akan menjadikan orang Minang berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan. Hanya saja dalam kebebasan ini harus berhati-hati karena seringkali ditemukan unsur-unsur negatif, yaitu apabila kebebasan itu disalahgunakan, sehingga terlalu bebas (liberal) dan berakibat hilangnya arah dan tujuan atau prinsip. Sebaliknya, ada pula yang terlalu bebas (untuk tidak mau dipengaruhi), berpegang teguh kepada tradisi yang dianggapnya sendiri telah pernah menguntungkan pada zamannya, sehingga tidak hendak menoleh ke zaman yang telah berubah. Akhirnya dia sudah tidak lagi bebas karena mengikatkan diri pada yang diketahui saja. Oleh karena dapat melihat jauh kedepan maka orang minang akan menjadi tawadhu dan iklhas dalam menjalankan syariat Islamnya.

Jiwa yang meliputi suasana kehidupan ber orang Minang itulah yang harus dibawa oleh anak kemenakan Minang sebagai bekal utama di dalam kehidupannya. Jiwa ini juga harus dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya dengan dimotori dan diayomi oleh Para Pemimpin Tungku Togo Sajarangan.

3. Apa Yang harus dilakukan untuk mengembalikan karakter orang Minang sesuai dengan ABS-SBK.

Untuk mengembalikan karakter orang minang kembali ke ABS-SBK adalah tugas berat dan berjangka panjang yang perlu menjadi acuan Tungku Tigo Sajarangan untuk menjadikan Motto dan Nilai berikut menjadi bagian keseharian dari kehidupan orang;

Motto “Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Kitabullah (ABS-SBK)

Nilai-nilai yang menjadi langkah aksi setiap perbuatan orang Minang adalah;
1. Menghindarkan pemborosan.
2. Kebiasaan menyimpan & hidup berhemat
3. Memelihara modal supaya jangan hancur
4. Melihat jauh kedepan

Tidak ada hal yang unik dari nilai-nilai yang harus dilaksanakan oleh orang minang karena sangat universal sifatnya sehingga tidak akan ada konflik dengan masyarakat non-minang. Yang penting bagaimana membuat nilai-nilai diatas tercermin dalam kehgidupan keseharian seluruh masyarakat minang. Untuk menterjemahkan nilai2 ini kedalam kehidupan keseharian orang minang adalah mencoba hidup dengan aturan2 yang bersumber dari nilai-nilai tersebut, antara lain;

1. Menghindarkan pemborosan.
Untuk menjadikan nilai ini menjadi keseharian dalam kehidupan orang Minang maka mereka harus memperlihatkan dua tingkah laku:
a. Efisien – Efisien dalam menggunakan waktu, uang, dan sumber daya yang dimiliki sebenar-benarnya untuk kemasylahatan umat.
b. Influencer – Influencer (mempengaruhi) yang handal untuk medorong semua pihak terkait didalam nagari menjadi efisien sehingga hari ini lebih baik dari kemaren sesuai dengan Syariat Islam

2. Kebiasaan menyimpan & hidup berhemat
Orang Minang akan memperlihatkan secara nyata diikuti tingkah laku yang mencerminkan dua hal berikut:
a. Komit – Selalu amanah dan komit untuk melaksanakan kewajiban.
b. Kerja Keras – Selalu bergerak untuk berkarya sehingga tidak ada waktu yang terbuang percuma

3. Memelihara modal supaya jangan hancur
Orang Minang sebagai pedagang yang ulet dan sudah menjadi trade mark dimana-mana di negeri ini selalu melihatkan tindakan2 berikut dalam kesehariannya
a. Inovator – Orang Minang itu selalu melakukan inovasi dalam melihat peluang dan memelihara kemampuan ini serta menurunkannya keanak dan cucu untuk kemashlahatan umat
b. Cerdas – Kecerdasan adalah sumberdaya utama orang Minang yang didapat dari usaha belajar yang tekun dan selalu mencari yang terbaik

4. Melihat jauh kedepan
Sebagai orang Minang yang terkenal perantau maka perlu menunjukkan kebiasaan kebiasaan berikut dalam kesehariannya
a. “Respect” – Menghargai orang lain termasuk dan tidak terbatas kepada ide, ilmu, dan hasil karya mereka
b. Dipercaya – Selalu membuktikan bahwa mereka sangat dapat dipercaya serta amanah.

4. Apa yang harus dilakukan untuk membentuk kembali karakter orang Minang sesuai dengan ABS-SBK.

Pengembalian karakter orang Minang sesuai dengan ABS-SBK membutuhkan kerja keras seluruh elemen masyarakat Minag dimanapun dia berada. Pekerjaan membudayakan umat Minang berbasiskan SBS-SBK ini perlu waktu dan seluruh pihak harus menyetujuinya.
Langkah-langkah yang perlu diambil dibagi dalam tiga tahap

Tahap I Penerimaan, Penghargaan & Penalti (Reward & Punishment) budaya ABS-SBK
Tahap II Sistim monitor & pengawasan budaya ABS-SBK
Tahap III Sistim kesinambungan karakter ABS-SBK

Berikut ini kiat2 untuk memastikan terjadinya pelaksanaan karakter tersebut secara benar dan ter-arah

Tahap I - Penerimaan, Penghargaan & Penalti (Reward & Punishment) budaya ABS-SBK

Tahap pertama yang paling krusial dan tidak boleh diliwati adalah kesediaan dan kesiapan masyarakat yang merasa dirinya orang Minang untuk menerima budaya ABS-SBK ini secara utuh termasuk dan tidak terbatas dengan menerima konsekuensi moral akibat tidak melaksanakan Motto “Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Kitabullah (ABS-SBK) serta nilai-nilai yang mendukung motto.

Maksud menerima motto dan nilai ini oleh orang Minang dimanapun dia berada adalah secara sukarela mau terlibat dan aktif melaksanakan nilai-nilai yang teridiri dari 8 (delapan) nilai yaitu Efisien, ”Influencer”, Komit, Kerja Keras, Inovator, Cerdas, “Respect,” & Dipercaya. Tidak ada yang baru dari nilai-nilai ini yang diturunkan dari ABS-SBK, nilai yang dikehendaki oleh kita yang mengaku orang Minang, kalau semua sudah setuju menganut ABS-SBK adalah sangat universal sifatnya dan dapat dengan mudah menjadikan anak nagari Minangkabau sudah mempunyai modal dalam kompetisi global.

Penghargaan yang bagaimana dapat diberikan kepada anak nagari Minangkabau yang berhasil melaksanakan nilai-nilai yang delapan tersebut. Penghargaan yang perlu dikemukakan adalah keberhasilan mereka menjadi orang2 yang optimis karena berhasil dalam kehidupan mereka akibat langsung dari melaksanakan budaya ABS-SBK. Penghargaan lain secara moral adalah diakuinya mereka sebagai orang Minang yang berkarakter sehingga dicari-cari oleh relasi mereka untuk berusaha.

Akhirnya masyarkat Minang harus memberikan penalti baik secara moral maupun bentuk lain kepada orang-orang Minang yang tidak melaksanakan budaya ABS-SBK. Bentuk penalti ini adalah hal yang paling berat tetapi karena nilai-nilai yang dianut sudah memberikan modal seperti Provokatif dan Cerdas sehingga pelaksanaan penalti kepada dunsanak, anak-kemenakan yang tidak ikut berbudaya akan dapat dilaksanakan dengan cantik dan elegan.

Realisasi dari tahap I ini sangat tergantung kepada situasi masyarakat Minang setempat, bisa cepat kalau Tungku Tigo Sajarangan dihargai secara utuh oleh anak nagarinya, sedangkan bagi nagari lain yang masih dalam proses penyatuan akan berjalan lambat dan mungkin menjadi proses yang tidak akan pernah selesai. Disinilah kesatuan umat Minang sangat diperlukan untuk mengangkat nagari2 yang sangat ketinggalan dalam pembentukan Tungku Tigo Sajarangan.

Tahap II Sistim monitoring & pengawasan budaya ABS-SBK

Tahapan ke dua inilah kunci dari keberhasilan pelaksanaan sistim kepemimpinan Tungku Tigo Sarangan berbasis ABS-SBK.

Kunci pelaksanaan budaya atau karakter di masyarakat apalagi masyarakat luas seperti Minangkabau ini adalah dengan pendekatan patronisme, artinya dimulai dari pimpinan yang melakukan internalisasi budaya yang dikehendaki. Salah satu dari perusahaan besar dengan jumlah karyawan seluruh dunia mencapai 500,000 orang sangat berkarakter sehingga kita langsung dapat menerka mereka dari perusahaan tersebut karena tercermin dari tindakan2 keseharian mereka.

Atau sebuah bangsa yang sangat berkarakter adalah Jepang yang rakyatnya sangat berkarakter dan sangat tahu apa yang akan mereka lakukan untuk kesehariannya. Salah satu bangsa yang juga sudah terformulasi budaya atau karakter adalah Singapura yang tidak begitu jauh dari ranah Minangkabau.

Bagaimana mereka membentuk budaya tersebut adalah dengan menunjukkan karakter yang diinginkan untuk bangsanya, dan itu dimulai oleh bapak bangsa yaitu Mr. Lee Kuan Yeuw dan sekarang bangsa itu sudah tertanam budaya yang sangat lentur menghadapi globalisasi.

Kembali kepada ranah Minang, disinilah peran dan fungsi Tungku Tigo Sajarangan (TTS) sebagai struktur tertinggi dari adat Minangkabau. Sebelum kita membicarakan role dan fungsi TTS maka kita perlu melihat sekilas siapa dan bagaimana struktur TTS ini. Menurut Buya Mas’oed mereka adalah urang nan 4 Jinih (Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiek Pandai, Para Pemuda dan Bundo Kanduang), yang semuanya merupakan tali tigo sapilin, didalam susunan bernagari dan menjadi tungku tigo sajarangan sebagai salah satu struktur masyarakat adat di Minangkabau.

Sistim pengawasan dan monitoring dapat kita pisah-pisahkan berdasarkan strutur TTS yaitu:

a. Bidang Karakter Umat oleh Ninik Mamak dan Alim Ulama
b. Bidang Karakter Pembangunan oleh Cadiek Pandai dan Pemuda
c. Bidang Karakter Pendidikan oleh Bundo Kanduang

Berikut ini adalah penjelasan masing-masing Bidang sesuai dengan fungsi strutur TTS

a. Bidang Karakter Umat oleh Ninik Mamak dan Alim Ulama

Sistim monitoring & pengawasan budaya bidang Karakter Umat, harus dimulai internalisasi delapan nilai-nilai yang telah dijelaskan diatas oleh para pemangku Ninik Mamak dan Alim Ulama. Karena mereka menjadi panutan oleh orang nagari, maka tidak bisa tidak mereka harus menjadi contoh melakukan tindakan-tindakan keseharian berdasarkan delapan nilai.

Secara berkala para Ninik Mamak dan Ulama harus meminta masukkan dari orang nagari baik secara formal maupun informal bagaimana pandangan mereka terhadap pelaksanaan budaya ABS-SBK mereka. Umpan balik dari seluruh masyarakat nagari akan secara tidak langsung melakukan sosialisasi mengenai delapan nilai ABS-SBK tersebut.

b. Bidang Karakter Pembangunan oleh Cadiek Pandai dan Pemuda

Sistim monitoring & pengawasan budaya bidang Karakter Pembangunan Nagari adalah fungsi utama Cadiak Pandai dan Pemuda yang juga sebagian besar merupakan pimpinan formal nagari (Umaro), Melalui sistim birokrasi nagari maka karakter atau budaya ABS-SBK dapat disosialisasikan, caranya sama yaitu dengan para Cadiak Pandai dan Pemuda melakukan internalisasi delapan nilai-nilai dalam pelaksanaan tugas keseharian mereka.

Secara berkala para Cadiak Pandai dan Pemuda harus meminta masukkan dari jajaran birokrasi baik secara formal maupun informal bagaimana pandangan mereka terhadap pelaksanaan delapan nilai budaya ABS-SBK mereka. Umpan balik dari seluruh jajaran birokrasi juga secara tidak langsung telah melakukan sosialisasi mengenai delapan nilai ABS-SBK tersebut.

c. Bidang Karakter Pendidikan oleh Bundo Kanduang

Sistim monitoring & pengawasan budaya bidang Karakter Pendidikan adalah fungsi utama Bundo Kanduang yang juga sebagian besar merupakan tulang punggung keluarga, Melalui rumah tangga maka karakter atau budaya ABS-SBK dapat disosialisasikan, caranya sama yaitu dengan para Bundo Kanduang melakukan internalisasi delapan nilai-nilai dalam pelaksanaan tugas keseharian mereka didalam rumah tangga.

Secara berkala para Bundo Kanduang melakukan diskusi dengan anak-anak mereka untuk mendiskusikan secara informal bagaimana pandangan mereka terhadap pelaksanaan delapan nilai budaya ABS-SBK oleh para Bundo Kanduang. Umpan balik dari anak-anak juga secara tidak langsung telah melakukan sosialisasi mengenai delapan nilai ABS-SBK tersebut kepada mereka dalam dimulai dari rumah tangga.

Tahap III Sistim kesinambungan karakter ABS-SBK

Tahap ketiga yang juga sangat krusial dan tidak boleh diliwati adalah menjaga sustainability dari budaya ABS-SBK. Diawal pelaksanaan budaya ABS-SBK seluruh anak nagari Minangkabau sangat komit untuk melaksanakan dan budaya ini berhasil merasuk kedalam qalbu mereka. Seingat penulis, diwaktu kecil pendidikan budaya ABS-SBK diajarkan di surau-surau sebelum tidur.

Kebiasaan tidur disurau bagi anak-anak laki yang telah bersunat merupakan keharusan. Pelajaran budaya ABS-SBK jaman sisuak itu memang dimulai dari surau dan ternyata berhasil. Kebiasaan mendidik pemuda disurau jaman dulu secara tiba-tiba berhenti sewaktu adanya pergolakan daerah di tahun 1957an. Sehingga sustainability budaya ABS-SBK tersebut secara perlahan-lahan mulai kabur atau menghilang dari nagari Minangkabau.

Tugas mempertahankan budaya ABS-SBK tersebut merupakan suatu pergolakan tersendiri dan perlu dibahas secara tersendiri.

5. Penutup.

Sebagai penutup untuk dapat diingat bersama dalam Mengelola Budaya untuk masyarakat (Managing Values) berdasarkan gagasan dan cita-cita para niniak mamak orang Minangkabau sebagai pencetus ABS-SBK bagi anak kemenakan Minangkabau yang mempunyai tekad begitu besar. Cita-citanya terutama adalah rasa tanggung jawab untuk memajukan ummat Islam di Minagkabau.

Generasi awal pencetus ABS-SBK ini berhasil menanamkan nilai-nilai budaya ini, karena Tigo Tungku Sajarangan sangat mengabdikan dirinya untuk kemajuan anak nagari. Sayang karena adanya pergolakan di era tahun 1957an akar budaya orang Minang tercerabut sehingga hilang dari masyarakat.

Pengembalian budaya atau karakter orang Minang dengan 8 (delapan) nilai-nilai yaitu Efisien, ”Influencer”, Komit, Kerja Keras, Inovator, Cerdas, “Respect,” & Dipercaya hanya dapat terlaksana kalau Tigo Tungku Sajarangan melakukan internalisasi dalam diri mereka nilai-nilai ini secara khaffah. Kalau itu tidak dilakukan maka jangan harap masyarakat Minangkabau akan berobah.

Demikanlah sumbangsih sedikit dari kami, semoga pembahasan sistim kepemimpinan berbasiskan budaya untuk membentuk karakter sebuah nagari berdasarkan pengalaman penulis yang pernah berkarya diperusahaan kelas dunia dan juga konsultan budaya bagi perusahaan-perusahaan dapat membantu terciptanya budaya ABS-SBK bagi nagari Minangkabau.

Darwin Chalidi – Character Building & Human Resource Management Consultant di Jakarta. Urang Minang yang gadang dirantau

Kabupaten Agam dengan "Aianyo karuah, Ikannyo Lia, Buminyo Paneh, Binatangnyo Harimau’... !

Oleh : Nurus Shalihin Djamra

..... Ketika saya diminta menjadi panelis Dialog Pemuda Mencari Pemimpin Agam Melalui Pilkada 2010 Menuju Agam Yang Lebih Baik oleh KNPI Agam, Sabtu, 12 Desember 2009, saya agak gamang karena diminta untuk bicara kriteria Bupati Agam 2010-2014. Mungkin bagi orang lain ini adalah hal yang mudah tetapi bagi saya ini bukalah soal yang sederhana dan gampang. Sebab ketika kita menentukan sebuah kriteria, apalagi mesti menyampaikannya kepada publik dan di hadapan para Balon Bupati, pasti akan mendiskualifikasi Balon yang tidak masuk kriteria yang dibuat. Dampaknya jelas sekali kita telah masuk pada wilayah penghakiman. Selain itu, atas dasar apa kita membuat sebuah kriteria? Oleh karena saya tidak mau terjebak dalam soal itu, dan jika kriteria adalah sebuah keharusan, maka saya harus benar-benar memahami persoalan Agam itu sendiri terlebih dahulu sebelum membicarakan kriteria apa yang harus dimiliki oleh Calon Bupati Agam.

Dari segudang maslah yang dihadapi Agam baik dari sisi pemerintahannya maupun aspek sosial kemasyarakatannya, maka saya mencoba berkontempkasi ke masa lalu dan berusaha berimajinasi pada masa datang. Memang tidak semua hal yang bisa saya petakan dan pahami, namun saya mesti memilih satu, dua, atau tiga dari banyak hal.

Bagi saya Agam adalah satu-satunya daerah kabupaten yang paling terunik dan kompleks dari 12 kabupaten di Sumatera Barat. Agam atau Luhak Agam dengan simbol "AIANYO KARUAH (susunan masyarakat), IKANNYO LIA (penduduknya), BUMINYO PANEH (lingkungan), BINATANGNYO HARIMAU (sifat dan karakter orangnya) menjadi tanda dari sebuah mozaik yang unik dan kompleks. Mozaik dari luhak yang ditumbuhi oleh jejaring sosial nan kaya, bagaikan “riak” dari samudera yang dalam. Di permukaan ia tampak tenang, tetapi di kedalamannya ada arus dahsyat yang siap menjadi pusara sunyi bagi orang yang tidak memahami watak kultur Agam. Pada wajah sosialnya, Luhak ini begitu teduh seakan tanpa gelombang, namun di kedalaman tubuhnya ada dinamika luar biasa dan kompleks.

Mengapa Luhak Agam unik dan kompleks, karena memang Luhak ini memiliki geo-kultural yang tidak biasa. Katakanlah dari sisi geografis, Agam bersentuhan dengan heterokultural, terutama pada nagari yang terletak di perbatasan. Di sebelah Utara, Kabupaten Agam berbatasan dengan Pasaman; di sini ia bersentuhan dengan budaya Pesisir/Rantau. Ada kohesi heterokultural di Pasaman, yang berhembus ke arah Kabupaten Agam, kohesi antara budaya darek dan rantau. Sementara di arah Barat Agam berbatasan dengan Pasaman Barat dan Pariaman, dimana selain budaya pesisir menjadi karakter utama masyarakatnya, juga ada kohesi antara budaya Minang dengan Mandailing. Sementara di arah Timur, Agam berbatasan dengan Lima Puluh Kota (Aia Janiah, Ikan Jinak, Buminyo Dingin, Binatangnyo Kuciang Siam) dan Tanah Datar (Aianyo Manih, Ikannyo Banyak, Buminyo Tawa, Binantangnyo Kambiang Hutan). Titik silang heterokultural, dalam arti bahwa satu intensi etnis tetapi memiliki karakter budaya yang berbeda. Ditambah dengan berdirinya Bukittingi "KOTO RANG AGAM" sebagai episentrum, sekaligus simbol modernitas. Keunikan ini, terutama ketika titik silang ini kemudian bertumpak ke arah Agam hingga menjadi karakter dari jejaring sosial yang menggelitik. Geo-kultural, menjadi terma yang mampu menggambarkan khazanah Agam, di mana kekayaan budaya mempengaruhi intensi politik, ekonomi dan struktur sosial.

Metoforsis Agam dengan "Aianyo karuah, Ikannyo Lia, Buminyo Paneh, Binatangnyo Harimau’ yang secara sosiologis menggambarkan bahwa struktur sosial masyarakat Luhak Agam bercirikan; pertama, susunan masyarakatnya tidak jelas dan sangat heterogen. Kedua, faktor alam Luhak Agam gersang yang ditunjukan oleh kiasan buminya panas. Ketiga, watak masyarakatnya berani, mandiri, liat, keras dan cerdik yang disimbolkan dengan harimau. Melihat gambaran struktur kehidupan sosial masyarakat Luhak Agam di atas, agak spekulatif dapat diandaikan bahwa di dalam masyarakat yang heterogen, keras dan liar diperlukan sebuah tatanan yang lebih demokratis dalam mengatur interaksi antar individu dan warga masyarakatnya. Selain karakteristik di atas, mayoritas masyarakat Luhak Agam menganut sistem Kalarasan Bodi Caniago yang disinyalir sistem adatnya lebih demokratis. Watak ini kemudian menjadi karakter dan mewarnai intekraksi sosial masyarakat Agam.

Hal ini terlihat jelas saat penyebutan Agam dengan Agam Timur dan Agam Barat, yang bagi saya menyiratkan adanya differensiasi karakter wilayah dan kultural. Di Agam Timur saja, antara IV Koto, Singai Pua, IV Angkek, Kamang, Baso (sekardar mengambil contoh) memiliki karakter wilayah dan kultural yang berbeda satu sama lain. Begitu juga dengan Agam Barat; antara Tiku, Lubuk Basung, Bawan dan Maninjau juga menunjukkan differensiasi karakter wilayah dan kulural.Dari kerangka geo-kultural tersebut, bicara soal pembangunan apapun bentuknya, menjadi kemestian kiranya pembangunan sejatinya harus bertumpu dan berdasarkan pada karakter wilayah dan kultural masing-masing. Secara alamiah dan praksis dapat dijelaskan bahwa bagi saya untuk wilayah Agam Timur pertanian,perikanan, industri kreatif/kerajinan adalah potensi dasar yang harus dikembangkan karenan karakter wilayah dan iklim kultural di Agam Timur sangat kondusif untuk ini. Maka jangan punya obsesi besar untuk membengun perlebunan dan perikanan di wilayah Agam Timur. Sebaliknya di Agam Barat dengan potensi danau-laut dan kebunan, maka wilayah ini punya potensi besar untuk mengembangkan perkebunan dan perikanan. Oleh karena itu tidak tepat agaknya bila di wlayah ini dikembangkan sektor pertanian.

Soal yang kedua adalah menyangkut birokrasi. Tersa ada spasial atau keterjarakkan antara pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah dengan kekuatan birokrasinya selalu menggunakan nalar state atau etatiseme dalam melayani masyarakat, di sisi lain masyarakat kental dengan logika sosietalnya. Perbedaan kedua nalar ini salain membuat spasial, juga tidak jarang memposisikan antara pemerintah dengan masyarakat sebagai versus. Oleh karena itu, menurut saya reformasi birokrasi bukanlah soal bagaimana pemerintahan berjalan efektif dan efesien, yang terpenting adalah; 1). Selama ini di dalam birokrasi yang terjadi adalah komunkasi satu arah antara atasan dan bawahan (top down), dimana bawahan selalu diposisikan sebagai objek, bukan subyek. Akibatnya solidaritas yang terbangun dalam birokrasi adalah solidaritas organik (ikatan kepentingan), bukan solidaritas mekanik (kesamaan visi, misi, program). Akhirnya komitmen yang dibangun sesungguhnya adalah komitmen pada person bukan komitmen program. 2). Ke luar, dalam artian ketika birokrasi mengurus soal kehidupan sosial masyarakat, maka logika etatisme hendaknya ditinggalkan. Sebab cara pikir ala birokrasi alih-alih memberdayakan masyarakat justru sebaliknya, masyarakat semakin tidak mandiri, bahkan telah menciptakan segudang masalah; kemandirian beralih menjadi ketergantungan, semangat komunalitas digantikan dengan individualisme, solidaritas mekanik yang menjadi ciri masyarakat nagari kini berganti dengan solidaritas organik, keutuhan kaum dan suku yang menjadi kekuatan kutlural dan sosial masyarakat ditukar dengan kekuatan struktur negara seperti kelompok tani, kelompok nelayan, dan lain sebagainya yang lahir dari rahim kekuasaan. Surau, lapau, galanggang, pasar tradisional yang selama ini menjadi institusi non formal pembentuk karakter masyarakat terdidik kini dialihakn pada saluran formal; sekolah/Perguruan Tinggi, Mall, Swalayan. Ukuran orang terdidik bukan lagi ditentukan sejauhmana orang itu mampu bertindak dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma, melaikan diukur dimana dia sekolah/kuliah, dimana dia berbelanja dll. Inilah salah satau dari sekian banyak contoh pemerintah dengan segala kekuatan strukturalnya telah melakukan proses estatisasi dalam kehidupan masyarakat.

Semestinya, birokrasi harus mentransformasi dirinya dari logika etatisem ke logika sosial. Artinya reforamasi birokrasi mesti diarahkan pada birokrasi sosial. Karena secara teoritis, jika merujuk pada khazanah pemikiran politik, negara/pemerintah/birokras
i dipahami sebagai sebuah institusi politik yang keberadaannya dibentuk oleh suatu konsensus bersama masyarakat yang plural dan heterogen berdasarkan kepentingan warganya. Artinya negara sebenarnya dicipatakan oleh masyarakat, bukan sebaliknya negara yang membentuk dan menciptakan masyarakat .

Masalah yang ketiga adalah soal pembangunan. Orientasi pemerintah selama ini tertuju pada pembanguan human capital, sehingga pembanguan social capital menjadi terabaikan. Fakta mengiformasikan bahwa kekuatan human capital nyaris mengalami kegagalan dalam membangunan sebuah peradaban tanpa dibarengi dengan pembangunan social capital. Padahal, ketahanan suatu bangsa sejatinya terletak pada sejauhmana sebuah bangsa membangunan kekuatan social capital mereka, seperti China. Menurut saya Agam mestilah menumpukan pembangunannya pada kekuatan social capital, tentu tanpa mengabaikan human capital. Lalu darimana memulainya? Jika logika di atas yang dipakai, maka keniscayaan menjadikan nagari sebagai pintu masuk, basis dan episentrum adalah pilihan yang beralasan dan tepat. Arinya nagari tidak lagi dijadikan sebagai ujung tombak pemerintahan, tapi nagari harus didesain sebagai dasar, episentrum, dan pusat dari segala kebijakan. Di nagarilah diawali pembanguan; pendidikan, ekonomi, kesehatan, hukum, sosial, budaya, agama dan lain-lainnya. Jika demikian, menyangkut dengan APBD, maka pemerintah kabupaten dalam menyususn ABPD harus berangkat dari nagari. Dalam arti masing-masing nagari diminta untuk menyusun APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Nagari), dan dari masing-masing nagari tersebutlah pemerintah kabupaten menetapkan APBD kabupetan.

Kekhawatiran APBD mengalami defit jika desainya adalah nagari adalah hal yang wajar karena APBD akan mengalami pembekakan, tapi kekhawatiran itu pun juga tidak signifikan jika kita mampu mendesaian bahwa masing-masing nagari atau kecematan menentukan dan memilih satu keunggulan. Misalnya Kecamatan IV Angkek yang memiliki potensi industri keratif dan konvesi atau Kecamatan Tanjuang Raya yang memiliki potesi Danau.... Jika masing-masing Kecamatan (16) di kabupaten Agam dipetakan potensinya, maka menurut saya kekahawatiran defist APBD tidak terlalu beralasan.

Tiga poin itu yang saya coba sampaikan pada Dialog Pemuda Agam pada Sabtu kemarin... Meskipun saya tetap tidak bicara tentang kriteria Bupati Agam, namun sekali lagi saya menyadari saya bukanlah orang tepat bicara soal itu. Kalau toh mesti membicarakannya tentu sekali lagi kita harus benar-benar mematakan berbagai persoalan sekaligus memahami karaktek Luhak Agam.

ROBOHNYA SURAU KAMI

AA. Navis
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu.
Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengansegala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penajag surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi.
Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya. Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek,
"Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk
selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. "Apa ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya." "Kakek marah?"
"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya.
Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah
perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
"Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya.
Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
"Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habishabisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun
bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’ ‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’ ‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan
ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga. ‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat,
teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya. ‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami.
Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar
hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya,
bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’ ‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka.
hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!" Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
"Siapa yang meninggal?" tanyaku kagut.
"Kakek."
"Kakek?"
"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."
"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana dia?"
"Kerja."
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.
"Ya, dia pergi kerja."
---the end---